13. Menjemput Kehidupan Baru

156 10 2
                                    

Menikah, bukan sehari, bukan dua hari. Menikah itu, semenit akad untuk selamanya. Menikah, bukan hanya sepasan pria dan wanita, tapi satu paket dengan keluarganya. Maka jika hendak menikah, pastikanlah kita bisa menerima keluarganya, dan sebaliknya.

****

“Nyonya Fatimah...” panggil Bi Inem yang berjarak beberapa meter darinya. Fatimah setengah terkejut karena sedang asik mengamati tingkah Ilham dan Zahra dari celah pintu kamar mereka yang terbuka sedikit. Fatimah menempelkan jari telunjuknya diatas bibirnya.

Fatimah segera berlari kecil menghampiri Bi Inem sebelum Ilhan dan Zahra tahu bahwa Fatimah tadi melihat tingkah laku mereka yang konyol.

Fatimah menepuk bahu Bi Inem pelan setelah menghampirinya.

“Jangan panggil Nyonya dong, kita kan sudah besan. Panggil saya Fatimah, mulai sekarang Bi Inem saya panggil Kak Inem, ya,” atur Fatimah
Karena usia Bi Inem memang terpaut jauh lebih tua dari Fatimah, meski usia anak mereka tak terpaut jauh.

“Aduh, saya belum terbiasa, Nyonya.” Jawab Bi Inem polos.

Fatimah mendesah.

“Terserah Nyonya sajalah,” ucap Bi Inem akhirnya.

“Ayo coba panggil saya, Fa..ti..mah.” Fatimah mendikte.

Dengan takut Bi Inem membuka mulutnya “Fa.. ehm.. Fat..”

Bi Inem mengulum bibir, lidahnya terasa kaku mengganti sebutan Nyonyanya dengan nama panggilan saja. Majikannya ini tidak sombong, berbeda dengan Zahra anaknya. Bahkan mereka rela menikahkan Zahra dengan Ilham seorang anak yatim dengan kehidupannya yang sederhana.

“Ayolah kak Inem.” Fatimah menyemangati.

“Anu Nya, sungkan. Bertahun-tahun saya kerja disini panggil Nyonya kok" terang Bi Inem.

“jangan gitulah kak, ayo coba lagi. Jangan minder begitu. Kita sama-sama manusia biasa.” Hibur Fatimah yang dibarengi bi Inem yang Manggut-manggut.

“Fatimah,” ucap bi Inem cepat, lalu segera membekap mulutnya sendiri.

Fatimah terkekeh geli melihat kepolosan Bi Inem.

“Bilang Fatimah sebanyak sepuluh kali ya, kak!” perintah Fatimah. Bi Inem segera menurutinya, diiringi dengan tepukan tangan fatimah setiap kali Bi Inem berhasil menyebut namanya dengan lancar.

“Fatimah,,,, Fatimah,,,, Fatimah,,,, Fatimah,,, Fat,,”ucapan Bi Inem terhenti saat Zahra dan Ilham sudah ada di depan mereka sambil menggeleng heran.

“Bunda apa-apaan sih! Ngerjain Bi Inem aja!” Zahra menepuk keningnya.

“Eits.. Kamu Zahra, jangan panggil Bi lagi ya. Ini Bunda dan kak Inem sedang latihan manggil dengan panggilan baru. Kamu juga harus berlatih untuk tidak panggil dengan Bi Inem lagi!” Fatimah menggoyang-goyangkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri.

“Panggil apa dong Bun?” Zahra menggaruk tengkuknya.

“Ibu!” sahut Ilham sebelum fatimah menjawab.

“panggil Ibu saja. Seperti aku memanggil ibuku,” perintah Ilham.

“Nah, itu dia.” Fatimah tersenyum lebar.

Jatuh Dan Cinta [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang