27. Cinta Revan

144 11 0
                                    

"Revan, buka pintunya dong. Kamu makan dulu."

Sudah berkali kali wanita paruh baya ini mengetuk pintu kamar anak bungsunya. Tapi upayanya itu tak berhasil. Pasalnya sudah kemarin malam anak bungsunya ini mengurung diri di kamar. Padahal perutnya masih kosong belum terisi makanan sama sekali.

Wanita dengan rambut yang menggelung itu hanya bisa pasrah. Dia yakin anak bungsunya ini sedang punya masalah. Tak biasanya anaknya murung seperti ini. Padahal, biasanya dia paling bersemangat untuk makan. Apalagi makanan kesukaannya.

"Nak coba bujuk adikmu, mama sudah capek" ucap wanita paruh baya ini sambil mengurut dahi.

"Mama istirahat saja dulu, biar Zidan yang coba rayu" kalimat si sulung ini menenangkan hatinya, diapun berlalu menuju tempat pembaringan

Sementara itu, didalam kamar yang lampunya sengaja dimatikan terdapat seorang lelaki yang tengah terisak pilu meratapi kisah cintanya. Pasalnya Revan sudah amat dalam mencintai Zahra. Bahkan ia sudah menyiapkan cincin untuk melamar Zahra di waktu dekat ini.

Cklek

Pintu berhasil di buka oleh Zidan, kakak Revan. Revan segera membalikan badan memunggungi Zidan. Derap kaki kakaknya semakin terdengar dekat. Kali ini Revan sangat malas berbicara dengan siapapun.

"Kaget ya, aku bisa buka pintunya?" Pertanyaan kakaknya itu tak di gubris oleh Revan.

"Sorry ya, aku lancang. Tapi ini semua demi kebaikanmu" Zidan melirik ke arah foto yang sudah berserakan dan dirobek robek, dipungutnya kemudian disatukan serpihan serpihan itu.

"Oo, jadi ini yang bikin kamu galau?"

Revan yang malu langsung menyambar foto dari tangan kakaknya.

"Apaan sih keppo!"

"Cerita sama kakak, siapa tau kakak bisa kasih kamu pencerahan" hiburnya sambil mengingat ngingat sama wajah yang ada di foto itu yang baginya nggak asing.

"Nggak usah sok bijak. Kakak aja jones parah.!"

Perkataan adiknya itu membuat Zidan mencelos. Memang betul, di usianya yang hampir memasuki kepala tiga, Zidan belum merasakan yang namanya saling mencintai. Namun bukan karena tanpa sebab. Ia memilih untuk saling membagi rasa dalam ikatan yang halal, pernikahan. Dia memang tak ingin kenal dengan yang namanya pacaran. Berbeda dengan adiknya yang suka berkali kali pacaran, dan juga berkali kali patah hati.

"Ya, karna belum nemu jodoh aja sih, yang jelas kakak nggak menyiksa diri kakak hanya karena cinta" sahut Zidan.

"Pret!"

Pemilik nama Zidan menepuk bahu adik semata wayangnya, bersiap untuk memberikan wejangan.

"Dek, dengerin kakak. Di dunia ini memang di ciptakan berpasangan pasangan. Ada duka ada bahagia, ada kasmaran ada patah hati. Itu adalah resiko manusia. Jangan jatuh cinta kalau kamu nggak siap resikonya. Kakak tau, kamu sering patah hati, tapi percayalah itu yang terbaik. Karena Allah ingin menunjuk kalau dia bukan jodoh terbaikmu sebelum kamu menikah" tutur Zidan.

Revan mulai tertarik, ia membalikan badan, menatap ke arah sang kakak.

"Tapi aku malu kak, gadis yang aku cintai sudah menikah. Dan aku baru tau fakta ini setelah aku bener bener mantap dan yakin sama dia" Revan menunjukan kotak kecil yang berisi cincin.

Revan menepuk keningnya. Tak salah lagi yang Revan maksud ialah Zahra. Istri temannya, Zidan pun dulu hampir jatuh cinta dengannya.

"Kan kamu bisa jual cincin itu lagi. Udah lah van, kamu nggak perlu memikirkan seseorang yang memang bukan ditakdirkan untukmu"

Revan menunduk, air matanya sudah mulai keluar dari pelupuk matanya. Ia menutupi wajahnya dengan tangan.

"Mungkin hari ini mendung dan hujan, tapi percayalah setelah hujan pasti ada pelangi, kalau kamu mau menghadirkan mentari dalam dirimu........hiya hiya hiya,"

Revan menyenggol lengan Zidan pelan "sok puitis lo"

"Nah gitu dong senyum" seru Zidan.

Walau hatinya masih menggerimis, Revan bertekad untuk bangkit lagi. Ini bukan pertama kalinya Revan patah hati, jadi buat apa ia berlarut larut dalam kegalauan.

"Mungkin aku yang salah Ra, telah menaruh harap lebih ke kamu" gumam Revan sambil meremas remas foto zahra yang ada di genggamannya.

Disisi lain Zahra dengan tangan cekatannya sangat lihai dalam urusan dapur. Yaps, kali ini ia berhasil menjadi master chef di keluarga kecilnya. Zahra merasa bangga terhadap dirinya. Ternyata memasak itu suatu pekerjaan yang menyenangkan. Meskipun nanti pas udah selesai banyak cucian piring yang numpuk, tapi itu tak masalah, dia bisa teriak teriak memanggil nama Ilham kemudian minta bantuan untuk mencucikan piring.

Dapur Zahra penuh dengan bumbu bumbu masakan, ada banyak sayuran, dan juga peralatan lainnya. Semua berserakan, ia harus menyelesaikan sebelum nanti waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB.

"MasyaAllah, istri aku rajin bener." Goda Ilham yang baru selesai sholat dhuha.

"Dari pada kamu ngomong nggak jelas, mending sini. Bantu ngiris ngiris bawang, motong motong sayur kek, kan manfaat," tangan Zahra masih dengan lihainya menggoreng tempe yang di kecapi, disambi dengan mengiris cabe dan sekawannya.

"Iya iya" Ilham berjalan mendekat ke arah zahra.

"Tuh, nanti motongnya kecil kecil, agak miring gini ya" Zahra mempratekkan bagaimana cara motongnya.

"Siap bu bos"

Mereka berdua terhanyut dalam suasana masak memasak, tak jarang juga Zahra menyuapi Ilham, menyuruhnya untuk mencicipi masakannya, sudah pas atau masih hambar.

"Gimana?" Tanya Zahra.

"Perfect" ilham menautkan jari telunjuk dan jempolnya membentuk bulatan dan membiarkan jari tengah, manis, kelingking berdiri tegak.

Zahra hanya tersenyum. Lalu kembali fokus dengan masakannya.

Jatuh Dan Cinta [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang