Berjodoh dengan siapa memang rahasia ilahi, tak ada satupun yang mengetahuinya. Sama halnya dengan Zahra. Jalan hidup yang saat ini tengah ia lalui sungguh diluar dugaannya.
Harapan untuk menjadi nyonya Doni kini sudah pupus. Satu hal yang dapat ia petik dari masa lalunya, bahwa rasa kecewa bisa kita dapatkan salah satunya dengan cara berharap kepada manusia. Luka di hatinya masih belum kering. Kerap kali zahra menangis sendirian dikamar saat ilham sedang tidak ada dirumah. Ia sering memikirkan mantan kekasihnya itu.
Tak ada takdir yang tidak baik, terkadang ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, muncul celah untuk mengeluh dan mempertanyakan. Padahal apa yang kita dapat hari ini, seburuk apapun itu, ia adalah hal yang sudah Allah tetapkan. Pastinya tidak ada takdir yang tidak indah. Yang ada hanyalah kita manusia manusianya yang tidak cukup mampu untuk melihat keindahan keindahan yang tersembunyi.
Istri sholihah? Ya, dua kata itulah yang menurut zahra menjadi tugas terberatnya. Menikah dengan seseorang yang tidak pernah ia bayangkan, seolah menjadi tantangan terbaru dalam hidupnya. Pernikahan memang seperti ini. Ia menyatukan dua orang yang berbeda. Bukan hanya dua orang namun juga dua keluarga.
Mencintai dengan kesempurnaan jauh lebih indah dari pada mengharapkan cinta yang sempurna. Terus mengeluhkan kekurangan pasangan memang tidak akan ada habisnya. Namun dengan saling menerima kekurangan pasangan akan melahirkan kehidupan yang saling melengkapi.
Masih sama seperti awal menikah, saat inipun Zahra masih belum bisa mengerjakan tugas mengurus rumah. Ilhamlah yang seakan menanggung dua tugas, yakni menjadi kepala keluarga sekaligus mengurus pekerjaan rumah. Tiap pagi ia selalu kerepotan sendiri. Bangun mulai jam 03.00, sholat tahajud, setelah itu ia mulai mengerjakan pekerjaan rumah dari menyapu, mengepel, cuci baju, cuci piring, bahkan untuk urusan masak memasak yang harusnya jadi tanggung jawab istri juga ia yang melakukannya.
Zahra sudah pernah mencoba melakukan tugas ibu rumah tangga. Salah satunya memasak. Tapi apalah daya, saat minyak yang sudah berada dalam penggoregan berani keluar mengenai tangannya, hal itu langsung membuatnya takut untuk mengulang yang kedua kalinya. Menurut zahra, minyak nakal itu sudah berani menyentuh kulitnya sehingga menimbulkan rasa panas serta berakibat melepuh, itulah yang membuat zahra trauma. Tapi bagaimanapun juga zahra harus tetap mencobanya. Jikalau para istri tidak suka dengan insiden ketika memasak lantas para suami mau dikasih makan apa? Cinta? You know lah. Cinta itu gak bikin perut kenyang.
Ilham sadar, zahra menikah di usia yang masih terbilang muda, 18 tahun. Oleh sebab itu ilham terus membimbing Zahra dengan telaten, seolah kesabarannya tiada habisnya. Ia sudah bertekad untuk merubah Zahra menjadi seorang istri yang baik serta sholihah.
Mak gedebuuuugh!
Zahra tersentak dan bangun dari tidur nyenyaknya. Saat mendapati sebuah bantal mendarat diwajahnya.
"Seet daaah! Hammm! Bangunin istri yang sopan napa!" masih terkantuk kantuk, Zahra berusaha bangkit dari tidur pulasnya.
Ilham hanya diam bergeming. Rambutnya yang masih basah, ditutupnya dengan peci hitam. Bulir-bulir air mengalir dari celah celah janggut tipisnya. Ilham terlihat lebih tampan ketika wajahnya basah dengan air wudhu. Zahra mengerjap-ngerjapkan matanya. Karena baru hari ini dia mendapati Ilham setampan ini.
"ham, kalau istri ngomong di respon kek!" gerutu Zahra.
"tau ah. Saya mau ke masjid dulu. Assalamualaikum.." setelah menggulungsarung di perutnya, Ilham segera berlalu meninggalakn Zahra yang mendengus kesal.
Di perjalanan menuju masjid, langkah Ilham gontai tanpa semangat.
"saya terlalu kasar nggak sih? Kalau tadi bangunin zahra dengan cara ngelempar bantal ke mukanya?" batin Ilham sembari berjalan menuju masjid yang tak jauh dari rumahnya. Dia merasa bersalah karena sudah terbawa emosi.
Ilham sudah hampir habis kesabaran. Karena Zahra tidak bisa menjalankan fitrahnya menjadi seorang istri dengan baik. Kerjaanya hanya tidur, makan dan nonton DVD saja.
Kalau dibangunkan untuk sholat subuh, susahnya bukan main. Bahkan ngomel-ngomel tidak jelas.
Ilham lelah dengan semua ini. Dia menjalankan perannya sebagai suami sekaligus istri. Menyiapkan sarapan, mencuci baju, bekerja, mengepel, dan hampir semua pekerjaan rumah Ilham lakukan. Karena Zahra yang manja dan selalu beralasan tugas kuliahnya menumpuk dan dia lelah.
"saya juga lelah!" keluh Ilham.
Assholatu khairumminannaummmm...
Suara adzan subuh terdengar semakin jelas di telinga Ilham. Karena dirinya sudah berada di serambi masjid. Pikirannya masih melayang tentang bagaimana harusnya dia membimbing istrinya yang masih kekanak-kanakan dan keras kepala.
Zahra menggeliatkan tubuh rampingnya. Aroma sedap sebuah masakan masuk menusuk ke dalam rongga hidungnya. Tadi sehabis sholat subuh, dia tidur lagi.
"Hmmpfh, baunya sedap banget!" Zahra segera menghampiri ruang makan. Semua hidangan telah rapi tersedia di atas meja makan.
Kriet
Suara pintu dibuka, Ilham baru saja dari masjid dekat rumah, dia baru pulang pukul enam karena juga ikut kajian tahsin yang diadakan setiap hari Ahad (Minggu). Iris hitam pekat itu tertuju pada sosok Zahra yang tengah mengendus-ngendus makanan sembari membuka tudung saji.
"Kamu go food di mana sih, Ham? Kok pagi udah siap semuanya." Tanya Zahra polos.
Ilham hanya tersenyum kecut seraya melepas peci yang tadi di kenakannya. Selama ini Zahra memang tidak pernah tahu kapan Ilham memasak untuk mereka. Karena Ilham juga harus berangkat kerja pagi-pagi. Dan Zahra baru bangun setelah Ilham pergi. Jika hari minggu, memang biasanya Ilham tidak masak. Tapi hari ini dia sedang ingin memasak sendiri.
"Go food Go food dari mananya coba. Ini semua saya yang masak!" Ilham menepis tangan Zahra yang berusaha mencomot tempe goreng tepung di atas piring warna putih.
"ish, bangun tidur jangan langsung makan. Cuci tangan dulu!"
Mendengar itu, membuat Zahra cemberut. Biasanya dia leluasa mencomot hidangan di meja makan tanpa ada yang menegurnya. Kini Ilham yang baru dikenalnya malah berani-beraninya melarangnya.
"Cepeet!" Ilham mendorong kasar tubuh ramping Zahra.
"Ih! Cari kesempatan ya! Pegang-pegang Zahra!" Zahra menjauhkan tubuhnya dari tangan Ilham.
"Ge-er banget sih kamu! Cepat sana, sekalian mandi!" Ilham melempar handuk yang baru dia ambil dari jemuran di depan rumah. Sebelum Zahra berteriak 'tolong ambilkan anduk' ketika sudah didalam kamar mandi.
"sumpah Ham. Hari ini kamu kasar banget! Mulai main lempar-lempar barang ke aku!" ucap zahra sengit.
Zahra malah balik melempar handuk ke wajah Ilham sambil bersungut sungut. Lalu malah duduk lagi di kursi meja makan dengan bibirnya yang mengerucut dan kedua lengan yang dilipat.
"aku gak suka ya kamu main kasar. Orang tuaku gak pernah gini loh. Kamu orang asing yang tiba-tiba main kasar ke aku." Isak Zahra
Ilham mengacak rambut frustasi. Ingin meluapkan segala perasaannya tapi takut malah terbawa emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Dan Cinta [Revisi]
أدب المراهقين"Mengertilah, bahwa saat seseorang menerimamu, dia juga sedang belajar menerima segala kelemahanmu. Harusnya kamu juga belajar hal yang sama. Bukan kembali membahas hal hal yang sering mendatangkan luka. Atau hal hal yang membuat aku merasa kamu tid...