Dua Puluh Tiga

276 92 68
                                    

BAGIAN DUA PULUH TIGA

Diantara semua kaum hawa yang Tuhan ciptakan, ternyata hanya kamulah yang masih setia menjadi penghuni dihati ini...

•••

Anggara menduduki sofa ruang tamu, duduk berhadapan dengan kedua orangtuanya yang sedari tadi sudah menunggunya.

"Ada apa Pa, Ma?" tanya Anggara sedikit lesu.

"Kamu kenapa sayang? Lukanya sudah kamu obati kan?" Tasya menghampiri putranya, menatap khawatir ke arah wajah pucat penuh lebam itu.

"Gara gapapa Ma. Udah Gara obatin kok, Mama nggak usah khawatir." Anggara tersenyum yakin pada Tasya.

Tasya mengangguk, namun wajahnya masih memperlihatkan kekhawatiran. Tasya memang sudah tau perihal perkelahian Anggara dengan Fano, karena Anggara yang menceritakannya itu pun dengan sedikit paksaan dari Tasya.

Bagaimana mungkin jika Tasya sebagai ibunya Anggara tidak khawatir dengan putranya itu yang pulang dengan keadaan penuh lebam. Seorang ibu pasti akan sedih melihat keadaan putranya yang tidak baik-baik saja.

"Papa sama Mama mau ngomong apa?" Anggara menatap Bram dan Tasya bergantian.

Sebelum mengatakannya Bram melirik istrinya terlebih dahulu. Tasya mengangguk pelan memberi kode yang langsung dimengerti Bram.

"Jadi kemarin orangtuanya Kara datang menemui kami berdua. Mereka datang untuk membicarakan perihal perjodohan kalian yang--" Bram menatap ragu istrinya, bimbang dengan ucapan yang akan ia katakan.

Sedangkan Anggara hanya diam, menunggu kelanjutan yang akan diucapkan Papanya.

Bram berdehem singkat lalu menegakkan punggungnya. "Mereka datang untuk membicarakan kalau perjodohan kalian terpaksa harus dibatalkan," ucap Bram akhirnya.

Tasya menatap Anggara yang masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Lalu membelai rambut putranya penuh kasih sayang.

"Kamu kenapa diam, hm? Apa ada yang mau kamu sampaikan setelah mendengar ucapan Papa tadi?" tanya Tasya.

Anggara tak tau harus beranggapan apa setelah mendengar hal itu. Bukankah ini juga yang ingin ia katakan pada kedua orangtuanya? Sekarang semuanya sudah terjadi bahkan sebelum ia mengatakannya terlebih dahulu.

"Anggara, Papa tau ini berat untuk kamu. Tapi mau gimana lagi, mungkin ini yang terbaik." Bram masih setia menunggu jawaban putranya.

Anggara sendiri masih bingung harus merespon apa.

"Iya Gar, mereka bilang kalau mereka gak bisa maksain Kara. Kamu tau sendiri kan. Tapi bukan berarti kamu nyerah gitu aja. Kalau kamu masih mencintai dia, maka perjuangkanlah dia selama kamu bisa memperjuangkannya," tambah Tasya.

"Dengerin Kata-katanya Mama, Papa jadi inget sama masa muda dulu. Waktu Papa berjuang buat dapetin Mama kamu, Gar," tutur Bram tersenyum jahil pada istrinya.

"Papa apaan sih!" Tasya tersenyum malu-malu, sambil mencoba menutupi rona merah pada pipinya.

Melihat tingkah kedua orangtuanya, Anggara terkekeh sendiri. Ia senang melihat Papa dan Mamanya yang setiap hari semakin dekat. Walaupun kadang kesibukan Bram-lah yang membentang jarak antara keduanya. Tapi, Anggara tetap bersyukur karena Papanya itu masih bisa membagi waktu bersama keluarganya.

"Pa, Ma, kalau nggak ada lagi yang mau dibahas, Gara masuk ke kamar dulu ya."

Tasya dan Bram menoleh pada Anggara lalu akhirnya mengangguk. Mungkin putra mereka membutuhkan waktu untuk sendiri dulu.

My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang