Empat Puluh Tiga

156 20 13
                                    

Heyyoo
Kalau bisa jangan jadi siders ya, hihihii👉👈



BAGIAN EMPAT PULUH TIGA

Aku hanya ingin menjadi yang terbaik untuk mu,
Tapi maaf jika ternyata aku hanyalah sebuah beban dihidup mu...

•••

Salah satu hal yang paling menyakitkan ketika mencintai seseorang adalah disaat kehadiran kita yang sama sekali tidak pernah dianggap ada. Mungkin itu hal yang terdengar biasa, namun berefek luar biasa untuk orang yang merasakannya.

Ketika dia yang kita cintai lebih memilih bersama orang lain, siapa yang tidak merasa sakit? Tidak ada! Bedanya hanya terletak pada cara kita menunjukkannya. Mungkin ada yang hanya diam sambil memendam karena sudah sangat terbiasa untuknya. Namun ada juga yang malah sangat membutuhkan sebuah pelampiasan dan itu dalam bentuk yang berbeda-beda.

Seperti Anggara yang saat ini tidak tau harus dengan cara apa ia menunjukkan rasa sakit pada hatinya. Ingin rasanya ia lebih memilih diam dan memendamnya saja, namun disisi lain ia juga sangat butuh sebuah pelampiasan.

Melihat Kara bersama Frans tadi benar-benar membuat Anggara tak bisa menjelaskan bagaimana rasa sakit yang ia terima.

Sangat menyakitkan bahkan mungkin lebih dari itu!

Kini Anggara sudah sampai dirumahnya dengan keadaan penuh luka lebam diwajahnya. Jika ditanya apakah itu sakit? Tentu saja. Tapi itu tidak sebanding dengan rasa sakit pada hatinya.

Anggara melangkah gontai memasuki ruang tamu, sampai pada saatnya teriakan seorang wanita yang sangat ia kenali terdengar ditelinganya. Terlihatlah Tasya yang datang dengan wajah paniknya.

"Astaga, Gar! Ini kamu kenapa? Kamu berantem?" tanya Tasya beruntun pada putranya.

"Gara nggak papa ma," balas Anggara seadanya. Seketika Anggara meringis ketika tangan Tasya menekan salah satu luka lebam diwajahnya.

"Kamu kenapa, huh?! Sekarang jujur sama Mama, kamu berantem kan?"

Anggara diam.

"Jawab Mama Anggara! Atau jangan-jangan kamu berantem gara-gara Kara lagi? Iya, kan?"

Anggara menatap Devi sebentar lalu menghela napasnya. "Gara nggak papa, Ma. Mama nggak usah khawatir."

"Gimana Mama nggak khawatir kalau kamu pulangnya dengan keadaan kayak gini! Sejak kapan Gar? Sejak kapan kamu suka berantem sampai luka-luka begini?" tanya Tasya dengan tatapan kecewa bercampur cemas.

"Ma-"

"Kamu duduk dulu, biar Mama obatin luka kamu. Mama nggak mau dengar penolakan!" ucap Tasya tak ingin dibantah. Anggara pun hanya bisa pasrah dan menurut. Ia langsung menduduki sofa sambil menunggu Mamanya yang pergi ke belakang.

Selagi menunggu, Anggara menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata. Sekelebat bayangan tentang kejadian tadi berputar dalam pikirannya.

Kenapa harus Frans?

"Mama jadi takut deh ntar wajah kamu nggak ganteng lagi. Apa kata Lexi ntar kalau liat wajah uncle kesayangannya berubah jadi monster gini," celetuk Tasya yang kini sudah duduk disebelah Anggara, sambil membawa sebaskom es batu beserta kotak P3K.

Anggara terkekeh singkat. Itu terlalu berlebihan menurutnya. Bagaimanapun dan apapun yang terjadi, bukankah Anggara akan selalu terlihat tampan. Benar bukan?

My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang