Dua Puluh Tujuh

271 79 43
                                    

BAGIAN DUA PULUH TUJUH

Kenapa masih bertahan sih?!
Padahal rasa sakit lebih banyak kamu dapatkan dibanding kebahagiaan yang selama ini kamu harapkan...

•••

"Kara awas!"

"Aaaaa..."

BRUK!

Semua terjadi begitu cepat. Kara tak tau apa yang terjadi sekarang. Apa ia sudah mati? Tapi kini yang ia rasakan bukan aspal, tapi tubuh seseorang yang sedang merintih kesakitan dibawahnya.

Kara rasa orang itu telah menyelamatkannya. Ia ingin melihat wajah orang itu. Namun sayang, ia sangat kesulitan berdiri dan kepalanya juga terasa sangat sakit sekarang.

Belum menyerah, Kara terus berusaha mengangkat kepalanya. Namun ternyata matanya lebih dulu tertutup lebih cepat sebelum ia behasil menatap wajah orang yang telah menyelamatkannya. Kini hanya gelap yang ia rasakan.

Ya, Kara pingsan.

"Kara bangun!"

"Tolong! Aaarghhh..."

***

Gadis itu mengerjap matanya beberapa kali. Bulu matanya yang lentik terlihat bergerak ke atas kebawah, mencoba membantu membuka kelopak matanya.

Kara membuka matanya, mencoba menetralkan cahaya yang masuk. Setelahnya ia melihat sekitar yang didominasikan warna putih. Aroma obat-obatan menyeruak cukup tajam didalam indera penciumannya.

"Kamu sudah bangun, sayang? Ada yang sakit, atau mau Bunda panggilin dokter?"

Suara seorang wanita membuat Kara menoleh ke samping. "Kara nggak papa Bun," balas Kara sembari meringis kecil, merasa sakit dibagian sikunya.

Devi menatap putrinya sambil menyiratkan kekhawatiran. Ia bersyukur karena putrinya baik-baik saja.

"Kara dimana Bun?" tanya Kara sembari bangkit mencoba duduk.

"Kamu di Rumah Sakit, sayang. Bunda khawatir banget sama kamu. Untung kamu nggak papa."

Kara tersenyum kecil pada Devi yang tak henti-hentinya menatapnya khawatir. Gadis itu sungguh beruntung memiliki ibu perhatian seperti Bundanya ini.

"Bun, Kara haus..."

Devi yang mendengar permintaan putrinya pun langsung mengambil minuman yang terletak diatas nakas. Kara langsung menerimanya dan meneguknya perlahan.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, keduanya menoleh. Terlihat Aksa masuk bersama Anggara yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Namun mata Kara malah terfokus ke arah cara berjalannya Anggara yang sedikit pincang.

"Udah bangun? Lo nggak papa kan?" tanya Anggara sambil berdiri disebelah brankar yang Kara tempati. Tampak jelas kekhawatiran terpapar di wajah cowok itu.

"Anggara, kamu nggak papa kan? Lukanya udah diobatin?"

"Saya nggak papa tante. Lagian lukanya nggak parah-parah banget, tadi sudah saya obatin kok," balas Anggara sambil memperlihatkan perban yang melilit di lengan tangannya. 

Kara ikut menatap lengan Anggara yang terlilit perban. Apa dia yang udah nyelamatin gue? Batinnya.

"Syukurlah... Terimakasih banyak ya Anggara, coba tadi kamu nggak ada, mungkin entah bagaimana lagi nasibnya Kara." ucap Devi tulus.

My SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang