Yang udah baca ulang cerita ini buat yang kesekian kalinya coba ngacunggg!
"Hah? Masa cuman lima puluh ribu doang sih?!"
"Sumpah! Ngapain gue bohong?! Kalau pun gue bohong, pasti bakal gue naikin harganya, bukannya malah gue turunin!"
"Ya langsung gas lah ayo! Ya kali nggak kuy!"
"Apaan sih?!" Aku penasaran dengan pembicaran ketiga temanku yang sejak tadi heboh banget. Saking hebohnya mereka nggak cuman menarik perhatianku saja, tapi beberapa teman sekelasku yang lain juga bertanya dengan penuh penasaran.
"Ada konser Tulus sama Kunto Aji di Gor UNY. Gas nggak nih? Presale satu cuman lima puluh ribu!" ucap Lala yang langsung ditanggapi dengan kehebohan luar biasa dari teman-temanku.
"Eh, itu lima puluh ribu tuh tiket yang festival?" tanya Vika.
"Ya enggak lah, Vik! Itu yang tribun B. Kalo festival tuh..." Lala mengambil ponselnya, dan memeriksan sesuatu. "Yang festival tujuh puluh lima ribu."
"Ya masih murah lah, itu! Gue waktu itu nonton Tulus doang aja udah delapan puluh ribu." Vika langsung menyahut dengan penuh antusias.
"Itu kapan, La?" Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar dari belakang. Sontak teman-teman sekelasku langsung menatap Adam—si cowok yang baru saja bersuara—dengan kehebohan yang semakin menjadi.
"Lo mau ikutan juga, Dam?! Masih bulan Februari sih. Namanya juga presale satu. Kalo udah makin deket tanggalnya makin mahal lho, Dam. Bisa sampai seratus lima puluh ribu!" Jawab Lala dengan semangat yang membara. Seolah dia adalah tim marketing dari acara tersebut.
Adam hanya meresponnya dengan gelengan kepala, lantas kembali menekuri bukunya. Padahal ketika aku memandangi wajah teman-temanku, mereka terlihat sangat berharap Adam ikut bergabung menonton konser itu. Jelas aja itu mustahil.
"Ayo lah, Dam, ikut aja! Tyra juga ikut lho ini!" Tiba-tiba Vika memutar tubuhnya menghadap Adam yang duduk dua baris di belakangku. Dengan santainya cewek itu menggoda Adam sambil merangkul pundakku, memaksaku untuk ikut menoleh pada Adam. Seperti biasanya cowok itu tidak menanggapinya dengan serius, hanya tersenyum tipis sambil geleng-geleng kepala.
"Apaan sih, Vik?! Sejak kapan gue suka Tulus?! Dibanding nonton itu, gue lebih milih buat nabung, biar suatu saat gue bisa nonton konser John Mayer, kalau dia ke Indonesia." Gerutuku sambil melepaskan tangan Vika yang melingkari pundakku.
Bukannya ingin menistakan musisi lokal, tapi ini kan masalah selera. Sejak dulu aku tidak begitu suka lagu-lagu Indonesia. Selama ini telingaku hanya familiar dengan petikan gitar John Mayer dan beberapa musisi barat lainnya, seperti Maroon 5, Post Malone, Honne, Imagine Dragons, dan sebagainya. Makanya setiap kali Lala heboh soal konser musisi lokal, aku tidak pernah tertarik.
Ini bukan pertama kalinya Lala heboh soal konser. Dia merupakan pecinta musik indie garis keras. Dimulai dari Pamungkas, Tha Adams, Fiersa Besari, dan sebagainya. Aku tahu nama-nama mereka dari cuplikan kehebohan Lala setiap kali akan diadakan konser. Apalagi Jogja terbilang cukup sering menjadi tempat konser musisi-musisi ternama.

KAMU SEDANG MEMBACA
MERBABY
Fiksyen RemajaKatanya, kalau pengin tahu gimana sifat asli seseorang, ajaklah orang itu mendaki gunung. Padahal Tyrandra tidak pernah tertarik dengan Adam, apalagi sampai kepengin tahu bagaimana sifat asli Adam. Namun, tanpa disengaja, mereka berada dalam satu k...