19

252 29 43
                                    

Ify's side ya gaes..

🌈🌈🌈

Sesampainya di tempat janjian, gue dan Shilla melihat Via yang sudah memesan tempat. Gadis itu melambaikan tangannya ke arah kami. Dia tersenyum ramah menyambut kami.

"Hai beb! Congrats ya udah sarjana aja!" katanya renyah. Dia memeluk gue dan mengalungkan selempang yang bertuliskan nama gue. Terharu, hiks.

"Ih makasih loh beb! Repot-repot amat pake ngasih ginian segala. Gak enak gue tuh!" Via mengibaskan tangannya di udara, lalu berdecak kecil.

"Halah, gapapa. Apasih repot segala!" imbuhnya santai. Kami tertawa bersama. Kemudian gue memperkenalkan Shilla kepada Via.

"Oh...jadi Shilla juga udah ujian skripsi ya! Temen gue pada pinter semua deh!" puji nya.

Gue dan Shilla kompak terkekeh mendengar pujian nya itu, "Lo juga pinter kali, Vi. Semoga setelah ini segera seminar ya!" kata Shilla.

"Ah, thanks Shilla. Gue juga berharap gitu" balas Via.

Kami bercerita banyak hal bertiga, gue akui kalau gue mendapatkan partner yang pas di kampus. Partner gibah paling penting. Hihi, cewek kalau ngumpul bahasannya gak jauh dari gibahan. Padahal orang rumah menggibah aja gue jadi malas.

"Persiapan pernikahan lo gimana, Beb?" tanya Via.

"Belum ada. Masih lama, masih dua tahun lagi."

"Jadi lo beneran nyuruh Pak Keenan nunggu?" Gue mengangguk pasti.

"Udah kesepakatan bersama juga. Lagian mama dan papa gue gak terima dong kalau kelar S1 gue langsung nikah. Apa yang gue kasih ke mereka selama 23 tahun hidup kalau gitu?" Baik Shilla dan Via sama-sama mengangguk memahami kata-kata gue.

Di keluarga gue, prinsip mama dan papa adalah menyekolahkan anak-anak nya setinggi mungkin supaya kami tidak sama dengan mereka. Supaya kami, gue dan adik gue bisa menaikan martabat keluarga. Karena seperti yang gue bilang sebelum nya, di circle keluarga besar gue gak ada anak nya yang kuliah. Kebanyakan dari mereka tamat SMA langsung menikah, membuka usaha kecil dirumah atau ke sawah.

Mama dan papa tidak menginginkan gue menikah terlalu cepat. Tapi karena jodoh merupakan suatu rejeki, pelan-pelan mereka menerima tapi dengan syarat gue harus menuntaskan pendidikan magister terlebih dahulu barulah menikah.

Gue gak pernah komplain dengan rencana mereka, gue tau rencana masa depan tersebut sudah tersusun rapi untuk kami berdua.

"Terus temen lo yang itu gimana?"

"Yang polisi itu!" Lanjut Via. Shilla mendelik ke arah gue.

"Lo punya temen polisi, Fy?"

"Iya. Temen lama. Dia di Medan--,"

"Lo masih sering kontakan sama dia?" Tiba-tiba gue teringat pesan singkat antara gue dan Rio tadi malam serta telepon beberapa menit yang lalu.

"Ehm...gak sering sih. Tapi tadi kami telponan sebentar."

"Oh...jadi yang elo senyum-senyum sendiri itu karena dapat telepon dari Pak Polisi, toh!" Seloroh Shilla. Karena pada dasarnya Shilla itu sama seperti gue, makhluk yang kepo. Jadilah gue terpaksa menceritakan sosok Rio meskipun hadirnya hanya sekejap akhir-akhir ini.

As Possible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang