23

85.6K 1.7K 88
                                    

"Nabilla turun disini aja, Om." Pintaku saat kita sudah berada di depan gerbang sekolah.

"Enggak." Tolak Om Pandu tidak berniat menghentikan laju mobilnya, satpam sekolah yang sepertinya sudah mengenali mobil Om Pandu langsung menbukakan pintu gerbang sekolah. Om Pandu membuka kaca mobil untuk berterimakasih, dan langsung bergerak memasuki area sekolahan.

Sekolahan sudah sepi, upacara bendera juga sudah selesai. Aku melirik kearah jam di pergelagan tanganku, sekarang sudah pukul 08:06. Aku ingin kembali pulang saja sekarang.

"Enggak papa.." Kata Om Pandu menenangkan, mungkin dia tahu aku sedang gelisah sekarang. "Selama ada om semua aman." Tambahnya lagi menatapku.

Aman gundulmu! Umpatku kesal dalam hati.

"Makasih, Om." Aku berterimakasih dengan tulus setelah Om Pandu menghentikan mobilnya, lalu bergegas untuk turun.

"Sama-sama." Om Pandu tersenyum, lalu mengikutiku turun. "Om sekalian mau ketemu kepala sekolah." Terangnya lagi membuatku mengangguk, tanda paham.

"Nabilla ke kelas duluan ya, Om." Pamitku lagi, lalu setengah berlari meninggalkan Om Pandu, menuju kelasku.

Aku menyusuri lorong yang kini sudah sepi, semua murid tentu sudah berada di kelas masing-masing. Jantungku berdegup kencang, merasa sangat gugup dan takut.

Aku tidak pernah telat sebelumnya, kalaupun telat itu pasti cuma di menit-menit pertama bel masuk. Dan hari ini? Telat satu jam? Bukankah lebih baik aku pulang saja?

Aku semakin tidak semangat saat nelihat pintu kelasku sudah tertutup rapat, suara Bu Erin, guru bahasa indonesiaku pun sudah terdengar dari dalam.

Aku melangkah menjauh dari kelas, berniat untuk pulang atau kemanapun, yang pasti bukan ke kelas. Tapi mataku menemukan om Pandu berada diujung lorong, berjalan gontai kearahku, membuatku secara refleks berbalik dan berjalan menjauh.

Aku harus kemana? Aku harus kemana? Aku harus kemana? Rapalku bagai mantra mengusir rasa bingung. Aku tidak ingin masuk kelas, tapi juga tidak ingin Om Pandu tahu aku berniat membolos.

Dan seolah Tuhan mengerti dengan keadaanku sekarang, mataku tiba-tiba menemukan barisan lokerku di lorong, aku bernapas lega. Setengah berlari menghampirinya. Paling tidak aku bisa mengunakan ini untuk alasan kenapa aku masih berkeliaran di depan kelas.

Ku ketik beberapa digit angka di pintu loker sebagai password, lalu membuka lokerku.

Aku tertegun saat melihat isinya, buku-bukuku tampak berantakan, tidak tersusun rapi seperti biasanya. Aku mengambil beberapa buku paket dari sana, buku ku terbagi menjadi tiga bagian.

Kenapa bukuku bisa rusak seperti ini? Perasaan kemarin masih utuh semua.

Otakku masih mencerna apa yang tengah terjadi kepadaku saat suara Om Pandu terdengar dari belakangku.

"Kenapa buku kamu? Kamu belajar pake ini?" Om Pandu menunjuk ke buku compang-camping di tanganku.

Aku menoleh untuk menatap Om Pandu, lalu mengangguk lesu sebagai jawaban.

Apa yang terjadi? Siapa yang usil dan melakukan hal merugikan seperti ini kepadaku?

"Jangan dipake lagi, nanti om hubungi bagian koperasi buat kirim buku buat kamu."

"Nggak perlu, Om. Ini tinggal di lem aja bisa kok." Tolakku cepat-cepat.

"Enggak usah dibikin ribet, Nabilla. Buat apa di lem, kalo Om bisa kasih kamu buku baru."

"Sayang, Om. Ini bukunya juga masih bagus kok."

"Sayang uang om juga, Nabilla. Uang om banyak tapi nggak dipake."

Aku speechless, lalu tersenyum manis menunjukan rentetan gigiku kepada Om Pandu. Kesal setengah mati.

"Kenapa, Nabilla?" Tanya Om Pandu menyernyitkan alisnya, menatapku heran.

Aku menghela napas berat, lalu menggelengkan kepalaku."Enggak papa, om." Aku kembali tersenyum, lalu melanjutkan perkataanku. "Yaudah, ini buku Nabilla semua diganti baru aja, ya."

"Iya, kamu mau apa lagi?"

"Emm.." aku berpikir sejenak. "Bangku sama kursi Nabilla di dalem udah otek juga, Om."

"Lagi?"

"Itu, om. Batu yang di taman belakang sekolah deket kantin, kaki Nabilla sering kesandung disana."

"Yaudah, nanti Om bilang buat gusur tamannya sekalian, ganti yang baru. Next?"

"Nabilla mau oplas, om. Bayarin, ya?"

Om Pandu mengamati wajahku, lalu mengeleng. "Kayaknya nggk perlu deh, kamu udah cantik."

Aku menundukan kepalaku, lalu memutar mataku jengah diam-diam.

"Mau apa lagi? Yang lain."

"Hmm.." Aku berpikir sejenak. "Enggak ada deh, Om. Udah cukup."

"Nggak mau di anterin ke kelas?" Om Pandu mengangkat sebelah alisnya menatapku.

Aku kembali berpikir, lalu mengelengkan kepala. "Enggak. Ngapain.." tolakku kemudian. Diantar Om Pandu pasti akan membuat seisi kelas heboh, dan hanya membuatku mendapat masalah baru saja.

"Yakin?" Tanya Om Pandu sekali lagi.

Aku mengangguk, kali ini sedikit ragu-ragu. Jujur saja, aku masih tidak memiliki keberanian masuk ke kelas.

"Udah, Om tau kamu takut masuk gara-gara telat kan? Sini om anter." Ajak Om Pandu lagi.

"Yaudah deh.."

"Masuk kelasnya mau digendong apa jalan sendiri?"

"Enggak, Om. Maunya naik tandu."

"Yaudah, biar om..."

"Kelamaan, Om. Nabilla jalan kaki aja. Yuk.." aku menutup lokerku, lalu menatap Om Pandu.

"Itu kelas kamu?" Om pandu menunjuk ke kelas yang tidak jauh dari tempat kami berdiri, aku mengangguk sebagai jawaban.

Om Pandu berjalan terlebih dahulu, diikuti olehku dibelakangnya.

Sesampainya di depan pintu Om Pandu menoleh untuk menatapku, lalu kembali menghadap ke depan dan mengetuk pintu kelasku.

Tok! Tok! Tok!

"Iya, masuk." Suara Bu Erin terdengar dari dalam kelas.

Om pandu meraih gagang pintu, menariknya turun laku membuka pintu kelasku.

"Selamat pagi, Bu...?" Om Pandu tidak bisa melanjutkan ucapannya karena tidak mengetahui nama Bu Erin, jemarinya bergerak diudara, seolah menyuruh Bu Erin untuk menyebutkan namanya.

"Sa-saya Erin, Pak.." Bu Erin yang sepertinya mengenal Om Pandu tampak tekejut dengan kedatangannya, menyebut namanya dengan sedikit terbata.

"Selamat pagi, Bu Erin." Om Pandu mengulangi ucapannya.

"Selamat lagi, Pak Pandu. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ini, saya antar Nabilla. Dia terlambat gara-gara saya telat jemputnya tadi."

"Oh, iya, Pak. Nabilla, silahkan duduk."
"Nabilla, sana duduk." Perintah Om Pandu juga.

Aku melewati Om Pandu dengan canggyng, mengangguk sopan kepada keduanya, lalu melangkah menuju mejaku.

Hampir seisi kelas berbisik-bisik mengiringi setiap langkahku, dan aku memilih untuk mengabaikannya. Aku menemukan Vina duduk di meja Dastan, menatapku takjub dengan mata bulatnya.

Tapi mataku menemukan hal lain yang lebih menarik, sosok gadis cantik yang duduk tepat dibelakang bangku ku.

Dia juga tengah menatapku, wajah cantik sempurna yang tampak familier di mataku.

Safira.

TBC.

Crazy Bad Boy And Me (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang