:: Bab XVI ::

1.2K 96 26
                                    

Setumpuk laporan yang cukup tebal sudah tersusun rapi di sudut meja Bagas. Seakan memanggil untuk segera di kerjakan, namun pria itu justru tidak berhenti melamun sejak sesampainya ia di dalam ruang kerjanya tersebut pagi tadi. Dengan raut wajah yang datar, matanya menatap jauh ke arah pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang terlihat dari posisinya saat ini. Sebelum akhirnya teralih pada tangannya yang terangkat tanpa sadar, terpaku untuk memperhatikan bekas kemerahan pada punggung tangannya yang perlahan mulai memudar.

Pedal rem diinjak secara perlahan, saat gang sempit itu sudah berada di depan mata. Bagas menghela napasnya tanpa alasan, sekedar menatap ke arah jalanan yang sepi, lantas membuka suara untuk memecah keheningan yang ada, "Karena kamu selalu menolak uang yang saya berikan, saya minta nomor rekening kamu. Biar uangnya bisa langsung saya transfer."

"Bukannya saya melakukan ini semua karena anda sudah lebih dulu membayar saya waktu itu?"

Reflek, Bagas menolehkan kepalanya begitu mendapat balasan dari gadis yang selama perjalanan tadi tidak kunjung membuka suaranya. Mau tidak mau, tatapannya yang sengaja ia hindari pun, kini harus dirinya hadapi. Menatapnya lekat-lekat, ekspresi wajah Bagas tampak memikirkan sesuatu. Ia pun terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan tersebut sembari membuang pandangannya kembali, "Bukannya saya bilang, kamu akan dapat bayaran tambahan kalau kamu menjalankan tugas kamu dengan baik?"

"Lalu, anda akan menganggapnya sebagai hutang, dan akan meminta saya melakukan hal yang lebih buruk dari ini, kan?" tuduh Claudia, selang beberapa detik kemudian. Memancing atensi Bagas untuk berhadapan dengannya lagi. Yang langsung dihadiahi Bagas dengan sebuah dengusan, terdengar tidak percaya akan apa yang baru saja dia katakan, "Apa kamu bilang?"

Bola mata jernih Claudia pun dengan berani membalas tatapan mengintimidasi yang diberikan Bagas. Tanpa menyadari bagaimana efek yang bereaksi pada tubuh pria itu, begitu tatapan mereka bertemu satu sama lain. Sedangkan Bagas tentu tidak bisa semudah itu menyerah pada degup jantungnya yang memburu. Ataupun pada sudut kecil hatinya yang terus memendam kesakitan tiap kali Claudia menatapnya seperti itu.

Sadar diri adalah yang selalu Bagas lakukan setiap bertemu Claudia. Bagaimana tatapan tajamnya, sorot mata penuh kebencian, juga ekspresi wajahnya yang tidak pernah terlihat bahagia. Itulah yang selalu ia dapatkan saat Claudia tengah bersamanya. Dan Bagas tidak punya hak untuk melarang Claudia melakukannya. Toh,  ini semua juga akibat kelakuan bejatnya. Jadi, sangat wajar jika Claudia yang harus terpaksa menerima keadaan sulit yang dirinya ciptakan, akan selalu bersikap seperti itu, pada dirinya. Mau menjelaskan yang sesungguhnya pun, rasanya terlalu mustahil. Claudia pasti tidak mau menerima alasan yang ia berikan, karena sudah terlanjur sakit hati.

"Kalau memang seperti itu niat anda, lebih baik tidak perlu repot memberikan saya bayaran tambahan. Ketimbang saya harus melakukan hal yang lebih buruk daripada ini, saya hanya ingin semua yang terjadi di antara kita agar segera berakhir."

"..."

"Sampai kapan saya harus melakukan ini?" Claudia kembali melayangkan satu pertanyaan lain. Yang dihadiahi Bagas dengan seringai andalannya. Tetap bertahan pada topeng jahatnya, hanya agar tidak ada yang lebih tersakiti daripada dirinya. Lantas, ia pun menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat singkat, padat, dan jelas.

"Selamanya."

Respon terkejut Claudia sudah lebih dulu tertebak oleh Bagas. Sehingga ia tidak perlu merasa cemas, dan bisa mempertahankan seringainya meski rasanya ia ingin sekali melenyapkannya. Jika saja ia punya opsi lain, mungkin Bagas akan memilih untuk menampakkan sosok dirinya yang sebenarnya. Sosok dirinya yang tidak akan membuat Claudia jadi sebenci ini pada dirinya.

Let Me Be Your Sky [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang