:: Bab XXVI ::

737 77 11
                                    

"K-kak Langit... jangan pergi. Jangan pernah pergi."

"Tapi, lebih dari itu semua, saya membenci anda. Sangat amat membenci anda, sama seperti saya membenci diri saya sendiri. Saya sangat amat membenci anda, sampai saya menyesali takdir yang diberikan Tuhan terhadap saya, saat ini."

"K-kak Langit... jangan pergi..."

"Bisakah anda pergi, dan tidak menghancurkan kehidupan saya lagi?"

"Jangan pergi... jangan..."

Ayam tetangga bersenandung riuh, melalui kokokan berisiknya yang terdengar sampai deretan rumah paling ujung. Memasuki celah jendela rumah, bersama dengan secercah terik mentari yang mulai meninggi. Pagi itu pun tetap seperti pagi-pagi yang lain. Namun, tidak untuk Claudia yang mesti terbangun dalam keadaan kepala berdenyut nyeri, setelah mengigau tanpa henti.

Beberapa kali, kelopak matanya naik-turun. Sibuk menelaah ruangan sempit berdinding kusam tersebut. Sampai akhirnya tersadar, bahwa ruangan itu, masih ruangan yang sama. Tempat biasa ia melepas penat. Kamar kelewat sederhananya yang justru membuatnya kebingungan.

Dengan segenap tenaga yang masih ada, Claudia berusaha bangkit dari posisi rebahannya. Satu tangannya terus memegangi kepala. Sementara satunya lagi menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dari ujung kaki sampai sebatas dada. Perutnya yang terasa bergejolak pun membuatnya tergesa-gesa keluar, menuju kamar mandi sebagai tujuannya.

Cairan yang berasal dari dalam perutnya itu kemudian mengalir begitu saja. Tidak mempedulikan kerongkongan Claudia yang menjadi sakit, atau pun napasnya yang lantas tersenggal-senggal. Butuh waktu sekitar beberapa menit, hingga akhirnya Claudia mampu menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar mandi dalam keadaan lemas seketika. Pagi baru saja datang, dan dirinya harus mengawali dengan isi perut yang dipaksa keluar ketika ia sendiri belum memakan apapun sejak semalam.

"Ya ampun, Kak Claudia!"

Teriakan Chalissa menjadi suara pertama yang membangunkan Claudia, sebelum ia sempat memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuhnya yang entah mengapa terasa begitu tidak berdaya. Kepalanya yang terus menerus berdenyut pun mendukung optimal kondisinya itu. Segelas alkohol yang ia tegak semalam dan ternyata tidak bisa berkompromi dengan baik terhadap tubuhnya pun, Claudia simpulkan menjadi penyebab dari ini semua.

Chalissa dengan cepat menggapai tubuh Claudia, agar tidak terduduk di atas lantai kamar mandi yang tentu saja basah. Bobot tubuh sang kakak yang jauh lebih besar darinya memang membuat ia kesulitan. Tapi, tidak peduli dengan itu, Chalissa berusaha mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya. Sehingga kini, ia mampu membopong Claudia walau harus terseret-seret sampai akhirnya masuk ke dalam kamar.

"Kakak kenapa gak panggil Chalissa? Kan, Chalissa bisa ambilin plastik kalau Kak Claudia mau muntah," tegur gadis cantik itu kemudian, setelah berhasil mendudukan Claudia di atas kasur lantainya yang tidak begitu tebal. Sebuah bantal ia letakkan tepat di belakang punggung kakaknya, agar sandarannya terasa lebih nyaman. Lantas, ia merapikan beberapa helai rambut Claudia yang menjuntai ke bawah, menempel pada wajah karena keringat dingin yang membasahinya, "Chalissa ambilin sarapan dulu, ya, Kak."

Tidak ada respon yang berarti, seakan-akan Claudia mempersilahkan saja sang adik untuk pergi sesuka hati. Dan keheningan pun menemani Claudia di dalam kamarnya sendiri. Helaan napas yang keluar melalui celah-celah bibirnya bahkan terdengar jelas. Selagi serpihan demi serpihan kecil memori di dalam kepalanya menyembul keluar. Yang sekaligus memperparah nyeri pada kepalanya, selain ia jadi bisa mengingat sedikit apa saja yang telah terjadi semalam.

Paksaan serta ancaman Agnes terhadapnya, kolaborasi guyonan Dion dan Gibran yang melukai harga dirinya, kenekatan Bagas untuknya yang sukses membuat semua orang tercengang, juga semua kata-kata yang meluncur keluar dari dalam mulutnya begitu saja. Sekarang, semua itu berputar di dalam kepalanya bak sebuah film lama yang ditayangkan kembali. Namun buruknya, justru membuat Claudia kesulitan menahan rasa sakit yang menjalar pada kepalanya, begitu nyeri.

Let Me Be Your Sky [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang