:: Bab IX ::

1.4K 110 3
                                    

Cermin besar itu memantulkan bayangan Claudia. Menampilkan lekuk tubuh gempalnya yang sudah tidak terlihat lagi, karena dress kekurangan bahan itu sudah dirinya ganti menggunakan kemeja putih serta celana panjang berwarna hitam. Meski sejujurnya ia masih kebingungan, memikirkan bagaimana pakaiannya yang sekarang bisa sangat pas untuk tubuh penuh lemaknya, namun Claudia berusaha untuk tidak memikirkan itu lebih lanjut. Justru, ia terfokus pada bekas kemerahan yang terdapat pada lehernya. Sisa perbuatan pria bernama Langit Bagaskara itu semalam.

Tangan Claudia tergerak, menyentuh lehernya sendiri. Hingga tanpa sadar, setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya. Dan isakan pun tidak mampu ia cegah agar tidak lolos dari bibirnya.

Claudia merasa hina. Dia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan itu semua. Ciuman dan cumbuan yang diberikan Bagas semalam, tidak bisa ia terima dengan mudah. Ia bukan seperti wanita-wanita bayaran, yang mungkin memang sering dipanggil untuk menghibur pria itu. Sungguh, jika dibayar sekalipun, ia tetap tidak akan mau terjebak di sini. Ia harus menjaga harga dirinya sebagai seorang perempuan. Tidak bisa membiarkan seorang pria menyentuhnya sembarangan.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu yang terdengar, berhasil menginterupsi tangisan Claudia. Ia buru-buru menghapus jejak air matanya, dan menarik napas dalam untuk mengisi rongga dadanya yang sesak. Segera pergi dari sini adalah hal yang harus ia lakukan. Sebelum Bagas bisa saja melakukan hal yang lebih dari apa yang sudah terjadi semalam.

Claudia membiarkan rambutnya terurai, mengedepankan sisi kanan dan kirinya untuk menutupi bekas kemerahan yang ada di lehernya. Terlalu malu mengumbar-umbar, karena menurutnya itu seperti jejak dosa yang seharusnya tidak ada di sana. Lantas, meski masih merasa ragu, ia memutuskan tetap membuka pintu kamar mandi dan keluar.

Akan tetapi, Claudia langsung dibuat keheranan begitu ia mengangkat wajahnya, dan mampu melihat meja di depan sofa sudah penuh dengan beberapa piring makanan. Pun, dengan Bagas yang sedang terduduk santai di sofa tunggal, seraya menyesap kopinya secara perlahan. Gerak-geriknya begitu indah, meski sekedar meminum kopi seperti yang dilakukan kebanyakan orang lakukan saat pagi hari. Namun, Bagas seakan punya pesona sendiri yang terpancar jelas. Membuat Claudia tanpa sadar terbengong-bengong, terkagum-kagum.

"Duduklah."

Suara baritone nan lembut itu kembali menggaungi telinga Claudia, sekaligus menyeretnya untuk tersadar. Kedua matanya mengerjap untuk sesaat, berusaha beradaptasi dengan reaksi tubuhnya yang akan selalu berdebar jika pria itu tiba-tiba berbicara padanya. Akan tetapi, tentu Claudia tidak bisa menuruti apa yang dia katakan. Tujuannya saat ini sangat jelas. Ia hanya ingin pergi dari tempat itu, sesegera mungkin. Melupakan semua yang sudah terjadi padanya, dan akan kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa seakan tidak pernah ada apa-apa.

"S-saya akan pul—"

"Duduk."

"Tidak. Saya mau—"

"Kamu tidak berhak menolak."

Bagas meletakkan cangkir kopinya, lalu mengalihkan pandangan pada gadis gempal yang berdiri sekitar sepuluh langkah dari sofa. Untuk sesaat, ia memperhatikan penampilan baru gadis tersebut, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ah, ini jauh lebih baik ketimbang dress ketat tidak jelas yang menampakkan lekuk tubuhnya, yang justru membuat Bagas merasa risih melihatnya.

"Duduk."

"Kenapa saya tidak berhak menolak?" tanya Claudia setelahnya, masih tetap kekeuh dengan keputusannya walau kini kedua matanya sudah saling bertubrukan dengan mata jernih milik Bagas.

Pria itu salah. Claudia tentu punya hak untuk menolak ajakannya, demi keselamatan dirinya sendiri. Justru dialah yang tidak punya hak untuk melarang-larang Claudia, karena di antara mereka tidak ada suatu apa pun yang memberinya hak demikian.

Let Me Be Your Sky [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang