Tok! Tok! Tok!
Berkat tiga ketukan yang didaratkan di atas pintu kayu tersebut, Claudia bisa mengangkat kelopak matanya secara perlahan. Alarm dari ponsel yang tergeletak di sisi tubuhnya, sebenarnya telah berdering kencang sejak tidak puluh menit yang lalu. Namun, alarm tersebut ternyata tidak cukup ampuh untuk membangunkan gadis gempal itu dari tidurnya. Sangat tidak sebanding dengan ketukan pintu yang suaranya bahkan jauh lebih kecil dari suara alarm benda pipih itu.
Sinar matahari yang menembus melalui celah tirai jendela, menyebabkan Claudia mengernyit. Matanya yang baru saja terbuka seketika menyipit, butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Terlebih pening yang mendera kepalanya begitu ia bangkit dari posisi telentangnya, sehingga ia harus mengambil waktu untuk duduk terlebih dahulu ketimbang bergergas membuka pintu agar bisa mengetahui siapa yang telah mengetuk pintunya sepagi ini.
“Aduh, sakit banget kenapa, ya?” ringis Claudia, sembari menekan kepalanya berharap bisa mengurangi rasa sakit. Akan tetapi, usahanya itu tidak kunjung membuahkan hasil. Sedangkan ketukan dari pintu kamarnya telah kembali terdengar, dan sekarang diiriingi pula dengan satu suara yang memanggil namanya beberapa kali. Suara yang Claudia kenali sebagai suara dari adiknya sendiri.
“Kak Claudia?”
Tidak ingin membuat Chalissa menunggu lebih lama, Claudia lantas memaksakan diri meski harus menahan sakit. Ia membawa tubuhnya berdiri, sesaat setelahnya mencuri sekian detik untuk menetralisir rasa sakit dan nyeri yang masih saja mendiami kepalanya saat ini. Langkah yang diurai oleh kedua kakinya terlihat tidak beraturan, membuatnya berjalan dengan sempoyongan. Tapi, untungnya, Claudia berhasil mencapai daun pintu kamarnya, sehingga ia mampu membuka pintu tersebut dan menghadapi Chalissa yang tampak sudah rapih dalam balutan seragam sekolahnya.
Meski pandangannya sedikit-sedikit buram, Claudia bisa melihat ekspresi macam apa yang Chalissa pasang sekarang. Gadis cantik itu menunjukkan keterkejutan serta kecemasannya yang menyebabkan dirinya tidak kuasa menahan diri untuk tidak bertanya, “Kenapa, Sa? Ada yang kamu butuhin?”
Alih-alih langsung menjawab, Chalissa justru terpaku. Walaupun tidak terlalu lama, karena sesaat setelahnya, adiknya itu berdehem untuk menormalkan suara. Sebelum akhirnya melarutkan ekspresi penuh maknanya dan memasang wajah datarnya, seperti biasa. “G-gak. Aku kira Kakak belum bangun makannya aku bangunin, karena setahu aku, hari ini Kakak ada kelas pagi.”
Keketusan yang Chalissa lontarkan pun menyebabkan Claudia hanya mampu menghela napasnya. Sejurus kemudian, dua sudut bibirnya terangkat sedikit, berusaha memahami sikap gadis cantik itu yang sepertinya masih belum bisa menerima kesalahannya. Melirik sedikit ke arah jam dinding yang tergantung di ruang makan, Claudia lantas menganggukkan kepala. Masih ada waktu sepuluh menit untuknya bersiap-siap dan berangkat, meski itu berarti, ia harus memforsir tubuhnya yang belum pulih sepenuhnya.
“Hm, terima kasih, ya, Sa.”
“Ya udah. Aku mau berangkat,” pamit Chalissa. Lalu melenggang pergi begitu saja. Mengabaikan pertanyaan dari sang kakak yang ingin tahu apakah dirinya sudah sarapan atau belum. Bahkan, tawaran yang Claudia lontarkan untuk memberinya sedikit uang jajan, tidak gadis itu hiraukan. Dia hanya terus berlalu, meninggalkan rumah kontrakan kumuh mereka untuk segera mengejar bus menuju sekolahnya.
Sepeninggalnya Chalissa, Claudia pun tidak punya pilihan lain selain kembali masuk ke kamar untuk mempersiapkan pakaian dan mengambil handuknya. Pilihannya itu pun pasti bisa segera ia tuntaskan, jika saja netranya tidak menangkap adanya dua buah benda persegi panjang yang tergeletak di lantai kamar. Teronggok tepat di sebelah bantalnya yang memiliki noda bekas air matanya semalam. Sukses memancing sesak untuk kembali merambati rongga dadanya, setelah usaha mati-matiannya untuk menenangkan diri yang dilanda keterkejutan serta ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Sky [ C O M P L E T E ]
Random"Hai, Langit? Apa kabarmu hari ini?" Langit adalah salah satu hal favorit untuk seorang Claudia Issaura. Bagi gadis gempal itu, langit sangat menenangkan, indah, sekaligus mampu memberi kekuatan, untuk segala sesuatu yang sudah dilewatinya dan pasti...