:: Bab LIX ::

474 51 5
                                    

Seperti yang sudah disepakati tempo hari, sebuah meja bundar dengan tujuh kursi yang diduduki oleh tujuh orang itu pun dipenuhi oleh berbagai hidangan yang baru saja matang. Tiga botol anggur merah turut memperlengkap makan malam mereka, ditemani oleh alunan musik jazz yang menenangkan serta suasana temaram sebagai bagian dari konsep restoran bintang lima tersebut. Mereka terhanyut dalam pembicaraan yang semestinya menjadi pembicaraan yang sangat menyenangkan. Apalagi kalau bukan tentang pernikahan dan dunia setelahnya.

“Sumpah, ya, gue mau banget punya sembilan anak cewek. Biar bisa gue daftarin jadi girlband,” gurau Dion, yang seketika mendapat pukulan ringan dari Keiko sebagai responnya. Sedangkan Gibran, Agnes, Lynn, dan Marvel tertawa melihat interaksi menggemaskan dari pasangan yang sudah bertunangan itu.

“Dikira hamil sama melahirkan itu enak, apa?” Keiko pun mencibir sebal beberapa saat kemudian. Lalu ditimpali oleh Lynn yang baru saja menelan satu teguk anggur merah dari dalam gelasnya, “Dua juga cukup, kok, Yon. Jakarta sudah terlalu sempit.”

“Gak, ah. Dua itu mainstream, Lynn. Atau gak, sebelas. Ikhlas banget, kok, kalau keluarga gue jadi saingannya Keluarga Halilintar.”

Gibran terbahak-bahak. Ia menatap sang sahabat seraya menepuk-nepuk pundaknya dengan cukup kencang, “Kalau sampai lu beneran mau nyaingin Keluarga Halilintar, ini jadi salam perpisahan dari gue.”

“Tapi, lucu juga, loh, Kak. Rumahnya bisa jadi lebih ramai. Kalau Kak Dion pulang kerja, nanti anaknya baris buat nyambut Kak Dion di pintu rumah,” balas Agnes, sembari membayangkan apa yang baru saja ia katakan. Namun, niatnya untuk menimbrung dalam percakapan itu justru dihadiahi dengusan pelan dari Lynn. Mudah saja untuk mengetahui bahwa nyatanya, wanita tersebut belum bisa menerima maafnya setelah ia yang mempermalukan Claudia di depan umum. Dan jujur saja, Agnes jadi merasa kesal dan berujung dengan menyalahkan gadis gempal pengacau itu diam-diam.

Di tengah perbincangan yang kemudian berlanjut, ada satu orang yang sejak tadi membisu. Pria tampan dengan jas casual hitamnya itu melamun, sampai-sampai tidak sempat menyentuh gelas berisi anggur merahnya yang masih penuh. Pandangannya yang kosong meniti pada satu titik secara asal, selagi pikirannya bercabang kemana-mana dan tidak menentu.

Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menyudahi lamunannya dan melenggang pergi ke kamar mandi. Memancing kecurigaan dan kebingungan dari para sahabat dan tentunya juga dari sang calon istri, yang langsung menghentikan diskusi. Hanya satu dari mereka, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Marvel, yang segera menyusuli kepergian pria itu dengan langkah cepat dan hati-hati.

“Bagas.”

Dengan mendekatkan telapak tangannya, sensor yang ada di keran wastafel tersebut langsung mendeteksi kehadirannya dan mengalirkan air yang cukup kencang. Bagas membasuh kedua telapak tangannya tanpa repot-repot mengindahkan kehadiran Marvel yang baru saja menutup pintu dan kini berdiri tepat di belakangnya.

Pantulan pria itu pada kaca harusnya bisa Bagas lihat sebagai pertanda bahwa ia menyadari kehadiran sahabat terdekatnya tersebut di sana. Tapi, karena mood yang tidak cukup bagus malam ini, Bagas memilih untuk sekedar terdiam sembari menunggu apa yang hendak Marvel lakukan sampai harus menyusulnya.

“Ada apa lagi? Lu kelihatan gak semangat banget dari tadi.” Marvel pun membuka pembicaraan, sekaligus menyuarakan rasa penasarannya. Ia sangat hapal dengan diamnya Bagas yang mengandung banyak makna. Dan menanyakannya adalah salah satu cara agar paling tidak, Bagas mau membagi masalah ketimbang memendamnya sendirian.

Dinding kamar mandi pun, Marvel jadikan sandaran bagi punggungnya. Kedua tangan yang diselipkan ke dalam saku celana, sementara matanya meneliti raut wajah Bagas yang tidak berubah. Masih sama datarnya dengan saat pertama mereka bertemu di depan restoran satu jam yang lalu.

Let Me Be Your Sky [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang