:: Bab XXI ::

1.1K 90 41
                                    

'Jangan, Cla... Jangan...'

Terdiam masih dilakukan Claudia, hingga akhirnya Bagas yang menutup sambungan telfon di antara mereka lebih dulu. Bahkan tanpa memberikan kesempatan dirinya untuk membalas ucapan pria itu.

Dengan perasaan yang bercampur aduk, ia pun menurunkan ponsel bututnya perlahan. Menatap layarnya untuk sesaat, seraya meneguhkan hatinya, tidak boleh merasakan hal seperti ini lagi. Bisa saja, perhatian kecil Bagas atau sedikit perubahan yang dia tunjukkan setelah sekian lama tidak bertemu, hanyalah sebuah jebakan. Jebakan yang mampu menyakiti Claudia lebih dalam dari pada yang sudah terjadi saat ini.

Sudah cukup harga dirinya direndahkan oleh Bagas kemarin-kemarin. Dan Claudia tidak akan membiarkan pria itu melakukannya untuk yang kedua kali, jika ia berhasil masuk ke dalam jebakan yang dibuatnya kali ini.

Sedangkan yang Claudia harapkan sekarang, Bagas mau secepatnya melepasnya pergi. Sehingga akan mudah baginya melupakan semua yang sudah terjadi. Menguburnya rapat-rapat sebagai kenangan paling buruk di dalam memori, dan berdoa agar kejadian ini tidak akan pernah terjadi lagi.

Ya, harus Claudia hempaskan rasa rindu, berdebar, atau hal-hal lain yang tidak seharusnya ia rasakan mulai saat ini. Bagas tetaplah Bagas. Dia tetap akan menjadi orang nomor satu di dalam daftar orang-orang yang paling dirinya benci.

Claudia pasti sudah bodoh karena terus memikirkan pria itu, terlena dalam setiap sentuhannya, seakan-akan ia adalah gadis tanpa harga diri yang dengan semudah itu terbuai dengan pesona yang Bagas miliki sampai-sampai melupakan fakta bahwa Bagas sudah menjadi kontribusi terbaik yang menghancurkan hidup serta masa depannya. Dan jika ia teruskan, Claudia sudah pasti akan semakin membenci dirinya sendiri.

‘Kamu membenci dia, Claudia. Sekarang, nanti, ataupun selamanya… akan tetap seperti itu.’

Bergegas, Claudia menyimpan ponselnya ke dalam tas, begitu melihat kedatangan bus yang akan membawanya pulang, hampir sampai di shelter. Kaki-kaki besarnya kemudian berlari cepat, menghampiri bus yang tidak terlalu ramai itu dan memasukinya setelah menempelkan kartu bus yang ia punya. Hingga akhirnya bus tersebut berjalan, membawa Claudia pergi tanpa sempat menyadari bahwa sedari tadi, ada seseorang yang diam-diam memperhatikan dirinya dari kejauhan. Seorang pria di balik setir kemudi dengan tatapannya yang sukar untuk dimengerti.

Pedal gas diinjak, dan mobil itu lantas melaju mengekor di belakang bus yang dinaiki Claudia. Perputaran ban-nya nampak begitu pelan, tidak ingin membiarkan orang yang sejak tadi diperhatikan menyadari kehadirannya di sana.

Tangannya meremas setir kemudi dengan kuat, begitu ucapan sang Mama tadi siang terus menggerayangi bagian dalam kepalanya. Tidak mudah untuk dilupakan, meski ia sangat ingin melenyapkan setiap kata-kata yang didengarnya, hanya agar harapan yang sudah dipupuknya tidak memudar begitu saja.

Selepas kepergian Nyonya Bagaskara dan Lynn, Bagas menghela napasnya dengan berat seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Kenyataan tentang Papanya Lynn yang menderita kanker dan divonis tidak berumur panjang membuatnya tidak habis pikir. Di satu sisi ia menyesali bagaimana bisa orang-orang menyembunyikan kenyataan penting ini darinya, sedangkan di sisi-nya yang lain ia tidak tahu harus berbuat apa.

Tidak mudah untuknya merubah keputusan yang sudah ia ambil agar bisa menerima perjodohan yang direncanakan di antara mereka, terlebih karena hatinya yang seakan tidak mau menerima kehadiran Lynn di sana. Sudah berulang kali ia jelaskan, rasanya masih tetap sama. Mau sebaik apapun Lynn kepadanya, ia tidak akan pernah bisa mencintainya.

Let Me Be Your Sky [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang