:: Bab VII ::

1.2K 95 3
                                    

Suasana hati Claudia nyatanya tidak kunjung membaik, meski ia telah meminta izin untuk pulang duluan. Rasanya akan sangat tidak mungkin jika ia tetap melanjutkan pekerjaannya di saat kondisinya yang benar-benar berantakan serta basah kuyup seperti ini. Dan untung saja, Pak Budi mau memakluminya, lantas memberinya izin walau pria berkepala plontos itu tidak hentinya bertanya tentang apa yang terjadi pada Claudia sebenarnya.

Entah yang keberapa kali, Claudia menghela napas. Rasaya, selalu seperti itu. Entah Tuhan yang memang menakdirkan perempuan gendut sepertinya harus menghadapi situasi menyebalkan semacam ini, atau memang Claudia-nya saja yang sedang apes sekarang. Ia tidak mengerti, mengapa di saat ia memiliki niat baik terhadap orang, semuanya hanya menjadi sia-sia. Orang-orang justru mempermainkan niat baiknya, lalu mentertawakannya seakan ia patut untuk mendapatkan semua itu. Tawa mengejek, ekspresi penuh kepuasan karena telah berhasil mengerjainya, bahkan tanpa meminta maaf. Perasaan tulus Claudia seolah tidak berharga sama sekali.

Claudia berusaha untuk tidak terus merutuki, ataupun menyesali apa yang sudah ia lakukan. Namun, rasanya tetap sulit. Gelak tawa laki-laki yang tadi mengerjainya hingga ia menjadi basah kuyup seperti ini terus terngiang di dalam kepala Claudia. Tidak bisa semudah itu untuk menghilang. Yang kemudian berhasil memperkuat rasa kecewa serta amarah yang terpendam di dalam hatinya.

Claudia tidak lupa bagaimana ia tadi kewalahan meredam kepanikannya sendiri yang tidak tahu harus apa, sampai pada akhirnya ia memilih keputusan paling bodoh saat itu. Jika tahu ia hanya dikerjai seperti tadi, mungkin memang lebih baik Claudia mengambil langkah perginya. Melanjutkan kembali pekerjaannya dengan aman, tentram, dan sejahtera. Lantas, ia bisa mendapat seluruh bayaran yang diiming-imingi oleh Pak Budi sebelumnya. Dan sekarang, Claudia bahkan tidak yakin apakah ia juga akan tetap mendapat bayaran walau ia hanya bekerja selama setengah waktu, dari yang seharusnya ditentukan, atau tidak.

Pintu kontrakan Claudia pun berdecit, begitu ia membukanya. Suasana tampak biasa, tidak ada yang berubah. Seluruh lampu di kontrakan kecil nan kumuh itu sudah menyala, pertanda Chalissa sudah berada di rumah. Tentu saja karena jam sekolah adik cantiknya tersebut hanya sampai pukul tiga sore.

Langkah Claudia membawanya menuju kamar sang adik yang seperti biasa, tertutup rapat. Ia hendak memastikan apa yang sedang dilakukan oleh Chalissa serta menawarinya makan malam jika gadis itu memang belum makan. Akan tetapi, tangannya yang hendak menyentuh gagang pintu harus mengambang begitu saja tatkala gagang pintu tersebut sudah lebih dulu ditarik dari dalam kamar. Menampilkan Chalissa yang sedang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.

"Ca, kamu udah makan?" tanya Claudia kemudian dan lengkap dengan senyum hangatnya.

Lirikan Chalissa yang memperhatikan penampilan anehnya dari atas kepala hingga ke bagian bawah kaki adalah yang didapatkan Claudia untuk pertanyaannya. Kedua alis milik gadis itu bertaut, memperjelas ekspresi yang sulit untuk dideskripsikan begitu ia melihat keadaan kakaknya yang pulang-pulang dengan baju basah kuyup dan rambut lepek, "Kakak abis ngapain? Kehujanan?"

Helaan napas berat pun tidak kuasa ditahan oleh Claudia. Ia ikut melakukan seperti apa yang dilakukan Chalissa, memperhatikan penampilannya sendiri. Senyum hangatnya berubah miris, begitu isi kepalanya seperti tidak mau membiarkannya tenang begitu saja. Lagi dan lagi, gelak tawa laki-laki menyebalkan yang ia temui beberapa saat lalu kembali terngiang, dan sungguh Claudia sudah mulai hilang kesabaran. Berharap bahwa ia tidak akan dipertemukan lagi dengan laki-laki itu, apapun caranya atau bagaimanapun situasinya.

Claudia menjawab dengan lirih, "Tadi gak sengaja jatuh." lalu kembali mengulang pertanyaannya di awal, "Kamu udah makan malam belum? Mau Kakak rebusin mie?"

Untuk sekali lagi, Chalissa bak sedang menscanning kesuluruhan penampilan Claudia. Sebelum akhirya berdehem, lantas membuang pandangannya acuh tak acuh. Kepalanya menggeleng malas, lalu beranjak pergi begitu saja tanpa mengucapkan satu patah katapun pada sang kakak. Namun, pergerakannya tiba-tiba terhenti, selaras dengan kepalanya yang tertoleh cepat, "Uangnya udah ada, kan, Kak? Mana?"

Let Me Be Your Sky [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang