:: Bab LVIII ::

426 40 7
                                    

Dering ponsel yang menggema di dalam kamar, berhasil membangunkan Claudia. Matanya terbuka pelan, demi menghambat nyeri yang tiba-tiba saja menjalar di dalam kepala. Ia pun memaksakan diri untuk bangkit, dan segera meraih ponselnya demi menghentikan suara berisik yang telah mengganggu istirahatnya yang entah mengapa terasa begitu singkat.

Tanpa membaca nama si penelfon, Claudia mengangkat panggilan itu. Napasnya terbuang pelan, sebelum akhirnya menyapa lawan bicaranya di seberang sana, "Halo?"

"Apakah tidur kamu nyenyak setelah apa yang terjadi semalam?"

Claudia tidak mampu mencegah tubuhnya yang seketika bereaksi usai mendengar suara serak yang semakin lama semakin tidak asing untuknya. Kesadarannya pun langsung mengalir penuh dan menyebabkan kedua matanya jadi lebih terbuka. Untuk sesaat, ia bahkan harus menahan napas, merasakan ketakutan yang sempat menghilang, sekarang kembali mengikat dirinya.

Ada tawa yang terdengar sesudahnya, "Benar. Ini aku, Pak Andre. Tetangga baru kamu, Claudia."

"B-bagaimana bisa...—"

"Kamu pasti terkejut, ya? Ya... paling tidak, kamu harus bersyukur karena semalam, ada orang yang dengan baik hati mau menyelamatkan kamu."

"..."

"Ayo, jawablah. Kenapa kamu selalu diam kalau aku sedang berbicara dengan kamu? Aku, kan, tidak—"

Tut! Tut! Tut!

Dengan cepat, Claudia menekan tombol merah yang tertera di layar ponselnya lalu menon-aktifkan benda pipih itu. Menyimpannya di bawah bantal, adalah cara yang masih bisa terpikiran oleh Claudia di saat pikirannya mulai digerayangi oleh bayang-bayang menyeramkan sosok Andre. Bahkan rasanya masih seperti mimpi jika ternyata ia bisa selamat dari niat jahat pria tersebut yang hendak melukainya semalam.

Berulang kali Claudia mengatur ulang napasnya yang tersendat. Keringat dingin merembes melalui pori-pori kulit dan membuatnya tidak nyaman. Menyebabkan ia bergegas keluar dari kamar hanya agar bisa melupakan sisa-sisa kejadian semalam.

Begitu keluar, ternyata ada Chalissa yang sedang menghabiskan sepiring mie goreng instant di ruang makan. Dan gadis cantik itu langsung menyadari kehadirannya di sana begitu suara pintu yang ditutup, terdengar. Namun, hanya untuk sepersekian detik mereka saling bertatap sebelum akhirnya Chalissa melengos malas.

"Aku baru tahu, Kakak sehebat itu ternyata," celetuk Chalissa tidak lama kemudian, di saat Claudia baru akan melangkah pergi menuju dapur. Dengusan ketus pun terdengar setelahnya, "Aku pikir, Kakak benar-benar mau bertahan sama Langit Bagaskara, gak peduli walaupun dia udah punya calon istri. Tapi, ternyata Kakak malah dengan gampangnya beralih ke laki-laki lain."

Claudia tertegun mendengar sindiran yang dilayangkan adiknya itu. Ia spontan menoleh, membalas tatapan mencela Chalissa dengan tatapan sendu. Tidak habis pikir dirinya, bagaimana bisa Chalissa berpikiran seperti itu. Lantas, tanpa membayangkan bagaimana perasaannya sekarang, malah sekonyong-konyong mengutarakan hal tersebut.

Kursi makan yang Chalissa duduki didorongnya mundur. Gadis cantik itu membawa piring kotornya ke dapur, dimana ia harus berpapasan dengan sang kakak yang termenung. Nampaknya, sindiran keras yang ia berikan berhasil menyinggung Claudia dan jujur saja, Chalissa jadi merasa puas.

"Apa laki-laki yang semalam itu lebih kaya dari Langit Bagaskara?"

Tidak ada yang bisa Claudia lakukan, meski sekedar menghembuskan napas. Posisi mereka yang kini saling berhadapan memungkinkan Claudia untuk bisa melihat dengan jelas makna macam apa yang tersirat dari tatapan Chalissa. Kesan merendahkan, jijik, marah, dan kecewa bercampur aduk di sana. Sangat ampuh untuk menyiksa hatinya bahkan ketika ia baru mengawali hari.

Let Me Be Your Sky [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang