Healing (23)

2.6K 311 48
                                    

Kakashi membasuh tubuhnya. Rasa lengket dan gerah sudah tergantikan dengan hawa segar dan nyaman. Ia tengah duduk di pinggir ranjang hanya dengan handuk menutupi area privasinya. Ngomong-ngomong, hari ini cukup melelahkan meski ia tak benar-benar memikirkannya. Rasa lelah karena misi dan rasa lelah menjalani tes aneh Tsunade jelas beda, tapi Kakashi tak akan mengeluh. Toh itu kewajibannya.

Pikirannya berputar pada saat-saat ia bersama Iruka. Ia tak menampik jika ia memang senang dekat dengan chunin itu. Segala beban hidupnya seolah lepas begitu saja. Tapi ketika ia sendirian, mendadak pikirannya berputar, memikirkan segala kemungkinan terburuk.

Kepemilikan dan kehilangan adalah fana, tapi luka selalu terasa abadi, membekas hingga mati. Selalu dan selalu, kilasan masa lalu yang kelam menghantui Kakashi, membuatnya yang baru membuka diri kembali mundur. Ada banyak risiko yang harus ditanggung jika ia melibatkan orang lain dalam hidupnya, tapi ia tidak kuasa selalu menghadapi segala masalahnya sendirian. Sebentar saja, ia juga ingin menjadi manusia normal. Ia ingin sekali bisa dengan leluasa menceritakan masalahnya. Terselesaikan atau tidak, setidaknya ada rasa lega ketika ia mampu berbagi. Nyatanya, ia tetap memendam segalanya sendiri.

Kesepian, ketakutan, luka. Seolah semua rasa itu membaur dan berkumpul di hatinya. Sejak awal yang Kakashi lihat hanya hamparan gelap, pekat yang menelan, membuatnya sulit menjangkau cahaya. Saat ketika Iruka mengulurkan tangannya adalah yang terbaik. Seolah secercah cahaya memberinya penglihatan, membuatnya mampu melihat jalan, menuntunnya.

Kebahagiaan seolah telah rembas binasa dari hatinya. Pada keinginan ketika Kakashi berusaha berbagi, sudut hatinya menolak dan menariknya kembali untuk menyimpan segalanya sendiri. Dunianya tak mengizinkan ia untuk hidup dalam kedamaian. Selalu ada peperangan. Tangannya yang kotor dan ternoda darah, seolah ajal berada sejengkal darinya. Kakashi tak akan terkejut manakala tiba-tiba musuh datang dan mencabiknya. Ribuan shinobi mati di tangannya, menyisakan kehilangan dan dendam yang membekas bak luka bakar. Bertahun-tahun menginjak genangan darah, bertahun-tahun merenggut nyawa. Semuanya hanya dengan alasan kedamaian.

Kakashi mencengkram surai peraknya. Kedamaian? Tidak pernah ada kedamaian yang benar-benar sejati di kehidupannya. Entah sebesar apa dosanya pada dunia. Mungkin memang semua ini konsekuensi, bayaran untuk kedamaian yang selalu diteriakkan orang-orang.

Dunia shinobi begitu egois. Seolah moralitas tak lagi penting, asalkan menggunakan embel-embel pembelaan diri dan kedamaian maka bebas untuk membunuh. Tiap-tiap negara selalu mementingkan kekuasaan, rakus akan wibawa dan pengakuan dari pihak-pihak lain. Tetua-tetua kuno yang terbodohi doktrin lama yang mereka kukuhkan, tak sadar bahwa dunia konstan selalu berubah. Mereka sama sekali tak bisa memaklumi perubahan, rigiditas yang tak berkesudahan.

Muak, Kakashi benar-benar muak dengan aturan-aturan tak tertulis yang selalu ditegakkan. Ia ingin sekali hidup dalam kedamaian, yang sebenarnya. Tanpa mengotori tangannya oleh darah musuh, tanpa perlu mendengar jerit pilu. Bahkan ketika orang-orang di desa mengelu-elukan bakat dan kemampuannya, yang Kakashi rasakan hanyalah ruang kosong di hatinya. Kehampaan yang abadi.

Lalu seolah tak cukup dengan siksaan itu, sharingan miliknya pun bermasalah. Mungkin dosanya pada dunia terlalu besar, hingga siksaan batin dan raganya tak pernah ada habisnya. Jika bisa, ia ingin sekali mencongkel bola matanya, melepas segala kekuatan besar yang selalu dibanggakan desa tetapi membawa luka menganga di hatinya. Mata itu selalu memperlihatkan segala kenangan buruk, membawa dirinya untuk selalu kembali pada masa dimana dunianya sepenuhnya hancur. Poros dunianya telah patah dan sejujurnya, Kakashi butuh penyangga.

---

"Kakashi-san selalu jalan sendirian, memangnya kenapa?"

Iruka bertanya pada Kakashi hari itu. Beberapa jam setelah riuh ramai jonin dan chunin di kedai ramen. Asuma dan Guy mengacungkan jempol, memberi semangat dengan kedipan mata.

"Aku sedang berjalan denganmu." Jelas Kakashi tak serius menjawabnya, ia hanya berusaha mengalihkan. Pertanyaan semacam itu selalu menjadi awal kenangan menyedihkan, seolah diingatkan bahwa ada luka menganga di hatinya.

Tapi agaknya Iruka mengerti, bahwa Kakashi tak benar-benar mempercayainya. Sebuah senyum kecil yang tampak kecewa, juga sorot mata lemah yang amat ketara. Benar, dimana pun Kakashi berada, hanya kekecewaan yang ia torehkan pada jiwa-jiwa yang berusaha menolongnya. Dengan kebiasaannya itu, tak heran jika orang-orang perlahan akan mundur meninggalkannya. Ya, seharusnya Iruka juga. Tapi chunin itu malah terus maju, memaksakan diri berlari meski kakinya remuk penuh luka. Mengejar Kakashi yang dengan sengaja meninggalkannya di belakang.

"Luka hati itu memang mengerikan, ya? Membekas sampai mati." Iruka bergumam lirih.

"Hm, rasa sakit yang tak akan pernah sirna."

Iruka terkekeh. Seolah atmosfir ringan di antara mereka beberapa waktu lalu tak pernah terjadi. Situasi kali ini benar-benar mirip seperti pertama kali Iruka berusaha membuat Kakashi terbuka. Dingin, kaku, dan rasa enggan yang besar untuk terbuka.

"Kakashi-san, menjadikan diri sendiri sebagai poros hidup itu egois."

"Kenapa?"

"Karena saat pijakanmu goyah, kau benar-benar tak punya sandaran. Bagi shinobi kuat yang terbiasa hidup mandiri sepertimu, mungkin kalimatku tak lagi relevan, tapi percayalah, kau akan semakin susah bangkit saat terjatuh karena terlalu percaya dengan porosmu sendiri."

Egois? Benar. Kakashi egois sejak kecil. Seolah tak pernah benar, keputusannya selalu membawa kesialan. Entah karena kutukan atau memang dirinya yang ditakdirkan membawa sial.

"Berusaha mendekatiku padahal tau aku seperti ini juga egois, Iruka-sensei."

"Eh?"

"Memaksakan diri masuk ke dalam kehidupan orang lain."

Iruka terdiam, bahkan hingga bermenit-menit berlalu ia tak mengatakan apapun. Satu hal yang ditangkap Kakashi, sorot mata Iruka tampak benar-benar terluka. Terlalu mudah dibaca seperti lembaran buku yang terbuka.

Iruka mengusap tengkuknya. "Benar juga, padahal aku tak memiliki kemampuan apapun selain chakra ku yang berguna. Harusnya aku sadar diri." Kalimat terakhir dikatakan Iruka dalam suara yang amat lirih.

Kakashi merasa tak nyaman dengan suasana ini. Beberapa hari dalam kesenangan, dan sekarang mereka seolah terlempar dalam rigiditas absolut. Tapi menyadarkan Iruka pada kejamnya dunia yang ia pijak adalah keputusan yang benar. Kakashi membutuhkan cahaya Iruka, tapi ia tak bisa menahannya di dalam pekat kegelapan.

"Berikan hidupku sandaran, sesekali." Kakashi melompat pergi begitu saja usai mengatakannya, meninggalkan Iruka dalam perasaan campur aduk yang tak terkira.

Interaksi mereka benar-benar bak roller coaster, dan sekarang adalah saat dimana mereka terlempar ke bawah. Keraguan dalam hati dan keinginan membuncah, membaur menjadi sebuah rasa yang rumit.

Naif, Iruka sadar dirinya terlalu naif untuk ukuran orang dewasa. Tapi jika itu yang bisa membuatnya selalu membawa cahaya, apa boleh buat?

Asanya selalu membumbung tinggi, dan Iruka selalu yakin harapan tak pernah sirna.

TO BE CONTINUE

A/N: Cieee yang nunggu aku update (emang ada?) wkwkw.

.

Btw aku sekalian mau promosi. Aku bikin serial baru, masih yaoi tentu saja. Ini original fiction, ya. Aku bosan bikin fanfiksi mulu, sekali-sekali kepingin merealisasikan pikiran sendiri. Mampir ya :)

 Mampir ya :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KakaIru (ManXMan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang