Chapter 49 - Rindu ini!

10.9K 774 51
                                    

🎶 There is a Place - Kris Wu

****

Sudah tiga hari Batara tidak sadar dari komanya. Hal itu membuat Melati merasa gagal jadi istri. Dia hanya bisa menangis dan menangis. Sudah tiga hari juga gadis itu tidak masuk kuliah. Joshua dan Irwansa membantu gadis itu mengerjakan tugas kuliah. Melati sudah selesai membersihkan dirinya pagi ini. Dia membuka gorden rumah sakit dan udara pagi langsung masuk ke dalam ruangan itu. Batara masih setia menutup matanya. Matahari sedikit terpapar pada wajah Batara. Melati pagi ini sibuk. Gadis itu mengelap tubuh Batara, itu sudah menjadi rutinitasnya semenjak Batara koma.

Dengan lembut dia mengelap tangan Batara. Melati tersenyum lembut lalu mengecup kening Batara setelah dia selesai melakukan pekerjaannya. Gadis itu hanya bisa pasrah pada yang Kuasa. Dia berharap dan juga berdoa bahwa semua akan baik-baik saja. Meski kadang dia goyah melihat kondisi suaminya.

Gadis itu sibuk memandang keluar ruangan itu. Semenjak tiga hari yang lalu dia jadi pendiam, sering melamun dan jarang tertawa. Pintu terbuka membuat gadis itu menoleh ke belakang. Ternyata, Sandy yang membawakan nasi yang baru saja dia beli dari luar. Febby dan Papanya harus kembali ke Jakarta, karena harus sekolah dan mengurus bisnis. Mama Lena dia di rumah sakit bersama Melati. Kadang Mama Lena pulang ke rumah untuk mengambil perlengkapan mereka. Dan Sandy karena dia sudah libur maka dia tinggal di Yogya.

Melati tersenyum tipis pada Sandy. Lalu duduk di samping Batara. Sandy sangat kasihan pada kakak iparnya itu. "Makan, Kak." Sandy meletakkan nasi bungkus itu di meja dekat ranjang Batara. "Nanti aja, San. Belum lapar," tolak Melati halus. Dia kembali menatap suaminya. Dia mengelus sayang rambut Batara. Dan, air mata lagi-lagi turun melewati pipinya. Dia memang tidak tahan seperti ini. Hal ini membuatnya frustrasi dan tidak tahu harus melakukan apa-apa.

"Ai... bangun, aku capek lihat kamu tidur terus." Nafas Melati tercekat, suaranya serak hampir habis. Dia menunduk malu tidak bisa menahan rasa gundah di dadanya. Dia terlalu lemah tanpa ada suaminya di sampingnya. Dia sudah terbiasa akan kehadiran Batara di sampingnya. Dia merindukan senyum tipis suaminya. Dia merindukan suaminya yang selalu menuruti keinginannya. Dia merindukan Batara yang selalu memeluknya. Dia merindukan Batara yang selalu mengomel saat mengajarinya tugas kuliah. Dia merindukan sarapan bersama Batara. Dia merindukan segalanya.

"Ai... kamu benci banget ya, sama aku? Udah tiga hari loh kamu nggak jawab panggilan aku," lirih Melati putus asa.

"Sayang, udah dong sayang," ujar Yanti Bundanya memeluk putrinya itu. Yanti juga tidak menyangka bahwa Batara kecelakaan. Yanti dan Darwin langsung berangkat dari Bandung saat mengetahuinya. Melati hanya diam tidak menjawab perkataan Bundanya.

"Bun, kok suami aku nggak bangun-bangun? Tolong bujuk dia, Bun! Biar dia bangun," ucap Melati pada Bundanya. Bundanya hanya bisa menghela napas berat. Malik yang melihat itu tidak tega. Hatinya sakit melihat adik kecilnya yang selalu riang gembira berubah menjadi pendiam dan terus saja menangis.

"Kak, kakak nggak papa?" kata Malik duduk di samping Malik. Malik hanya melihat Sandy lalu tersenyum tipis. "Gue sempat hampir putus asa," terang Sandy. Malik menoleh. "Gue juga tahu gimana perasaanya Kak Mela, gue takut kehilangan Kak Batara, tapi pas lihat mama nangis, gue nggak mau nambah pikiran mama," jelas Sandy menghela napasnya panjang.

"Gue juga ngerasain hal yang sama, gue nggak tega lihat adek gue nangis kayak gitu, gue bakal lakuin apa aja asal adek gue balik lagi kayak dulu," jelas Malik.

Deg!

Melati menutup mulutnya. Dia sudah terlalu lama berlarut-larut dalam kesedihan. Padahal dia tahu bahwa Batara adalah pria yang kuat. Apa aku egois? Udah buat mereka semua khawatir? batin Melati. Melati tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua pria itu. Melati segera menghapus air matanya dan berusaha tersenyum. Melati ingin menepiskan semua pikiran negatifnya.

"Abang, aku mau ngomong," ucapnya tersenyum seperti biasa. Sandy dan Malik menoleh. "Adek?" Malik dan Sandy berdiri sangat senang. Melati nampak baik-baik saja. Malik mendekat langsung memeluk adiknya itu. Sandy pergi dari sana memberikan waktu untuk mereka berbicara.

"Bang, maafin Melmel udah buat kalian khawatir," ucapnya menunduk.

"Melmel udah egois," katanya lagi.

"Nggak papa, dek. Kamu nggak egois. Kamu hanya takut kehilangan Batara, itu aja." Malik tersenyum mengelus sayang rambut gadis itu.

"Gimana persiapan nikahan Abang sama kak Lusi?" tanyanya mengganti topik. Dia tidak mau menangis lagi saat membicarakan suaminya.

"Semuanya lancar, tapi diundur dulu. Mungkin beberapa bulan lagi," jelas Malik. Malik memang akan melangsungkan pernikahannya dengan pacarnya Lusi minggu depan. Tapi, karena kejadian tak terduga ini, semuanya ditunda. Dan Lusi calon istri Malik ikut merasakan kesedihan ini. Dia bisa memaklumi.

"Maaf ya, Bang. Gara-gara aku, acara nikahan kalian ditunda," kata Melati merasa bersalah.

"Nggak usah nyalahin diri sendiri, dek."

"Ingat, ini ujian untuk rumah tangga kalian, bisa nggak kamu percaya sama Tuhan kalau Batara bakal bertahan buat kamu. Kalau Batara benar-benar cinta sama kamu, dia akan bertahan. Percaya sama abang. Jangan lupa, waktu Tuhan pasti yang terbaik," jelas Malik berharap adiknya mengerti. Melati tersenyum lega. Dia lalu memeluk erat Malik.

*****

"Mas, restorannya tutup jam berapa? Inikan hari Sabtu?" kata salah satu pegawai di restoran Batara. Batara tersenyum. "Sebentar lagi." Pegawainya itu mengangguk tersenyum. Batara tidak sabar ingin pulang. Dia merindukan suara ribut istrinya. Dia merindukan saat-saat istrinya meminta pelukan padanya saat sore tiba. Saat dia turun dari mobilnya dan istrinya memeluknya.

"Saya duluan, ya? Restoran saya percayakan sama kamu," kata Batara keluar dari restoran.

Dan....

"MAS! AWAS MAS!!!" Batara menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Lalu melihat ke depan.

Brrraakkk!!!!!

"Ai, tunggu aku pulang." Semuanya gelap dan sesak. Dan kemudian semuanya gelap.

*******

Malam ini, Melati selalu terjaga. Mama mertuanya sangat lelah dan memutuskan untuk tidur . Malik dan Sandy pergi untuk keluar. Di sana, Melati masih setia memandangi wajah suaminya. Dia ingin menangis tapi sudah berjanji sama Malik bahwa dia tidak akan menangis lagi.

"Selamat tidur, Ai..." Melati mengantuk dan tidur menindih tangannya di ranjang Batara.

Sepi, dan dingin itulah malam itu. Membuat gadis itu sedikit menggigil. Namun, sedetik kemudian semuanya terasa hangat. Dia benar-benar senang dan nyaman. "Bang, Melmel nggak nangis lagi, Abang tidur aja, biar Melmel yang jagain suami aku," racaunya yang merasakan saat sebuah tangan mengelus rambutnya.

Tidak ada jawaban! "Bang! Melmel udah bilangin, Melmel...." Ucapan Melati berhenti tidak ada Malik di sana. Dia mengusap wajahnya kasar. "Ai... bangun ayok! Kamu nggak kasihan lihat aku kayak gini?" lirihnya lagi. Malam ini pukul dua subuh. Dan gadis itu benar-benar sudah tidak bisa tidur. Kantuknya tiba-tiba hilang begitu saja.

"Ai... peluk..." rengeknya lagi menindih kepalanya pada kedua tangannya yang terlipat.

"Aku nggak suka kamu nangis!"

******

𝑷𝒆𝒍𝒖𝒌𝒂𝒏 𝑺𝒂𝒂𝒕 𝑺𝒆𝒏𝒋𝒂  (𝙀𝙉𝘿) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang