17 [tapi dari Jaehyun.]

166 29 0
                                    

Jaehyun mengusap rambut berkali-kali sampai Haechan sendiri bosan melihatnya. "Kenapa sih Jae?"

Lalu menggeleng. Melihat ponselnya lagi, kemudian menipiskan bibir. Mengetik seuatu kemudian menghapusnya.

Jeno dan Mark sedang heboh di pos ronda, sedang Yuta masih tertidur di sana dengan sarung sebagai bantal. Setelah tadi berkeliling untuk membangunkan warga sahur dengan anak lainnya juga, tapi tinggal empat anak itu yang masih asyik di pos.

Kalau kata Yuta, "sahur itu lebih baik di akhir." Makanya dia memilih kembali tidur di pos ronda. Agar nanti di bangunkan saat satu jam lagi mendekati imsak.

Kalau Mark, Jeno dan Haechan lebih suka menghabiskan waktu sambil ngegame. Apalagi Haechan punya alibi kuat, yaitu menghabiskan kuota malam yang sudah menumpuk sampai puluhan gb banyaknya.

Sedang Jaehyun. Ah, anak tunggal mama Seulgi itu tak suka makan sendirian. Tanda kutip, dia anak satu-satunya. Mama Seulgi dan Papa Yono memang makan bersama di ruang makan, tapi merasa lebih enak mengoceh dengan teman seperondaannya.

Apalagi saat ini, dilanda galau stadium empat. Untungnya, selama ini Haechan kadang menjadi tempatnya untuk berbagi pendapat.

Laki-laki berkaos jingga dan bersarung merah diselempangkan pada pundak itu menyimpan ponsel. Melirik kegiatan Jaehyun pada ponselnya. Lalu nyeletuk di dekat telinga Jaehyun, "tinggal di telfon."

"Anjing!" Hampir saja ponsel seharga tiga juga itu jatuh jika tak sigap di tangkap.

"Lagian lo kebanyakan cincong."

Jaehyun berdecak, melirik sinis Haechan di sebelah kanannya. "Gue ngomong apa kalo nelfon?"

"Ya lo ngapain mandangin nomornya kalo nggak ada yang mau diomongin?" Haechan jadi emosi. Tak berfaedah sekali dirinya ikut campur urusan Jaehyun.

"Yess! Bagus Jen. Terus! Itu goblok, masuk rumah! Ambil senjata, anjing!"

"Bunuh Mark! Aduh, Bego banget lo. Di semak-semak. Gue naik mobil dulu, sini lo gabung."

Tak akan terdengar pembicaraan Haechan dan Jaehyun karena kehebohan Mark dan Jeno tentang game. Sampai Yuta berdecak kesal, "giliran nggak ada nyamuk, dua kadal buntung ribut! Ada aja yang ganggu! Jangan berisik!" Lalu mengubah posisi tidur.

"Kalo nggak tau mau bilang apa ngapain liatin nomer gebetan? Dasar bucinnya hayati!"

Jaehyun membasahi bibir, "gue mau bangunin dia sahur Chan."

"Nggak sekalian aja ke kompleknya? Kita ronda kesana." Yang mana, candaan Haechan hanya dapat pelototan kesal Jaehyun.

"Telfon aja."

"Tapi-"

"Hadeuh! Susah emang kalo bucin mendarah daging. Kalo ragu ya nggak usah."

"Tapi Chan, kemarin Alia sakit gara-gara nggak sahur."

"Alia nggak bakal sekarat kok Jae-" Haechan hentikan mulutnya karena Jaehyun melirik tajam. Jaehyun tak terima saat Haechan menjadikan Alia bahan candaan. "Yaudah, telfon aja. Kalo khawatir. Biar bisa puasa dengan tenang sampe besok."

Jaehyun menurut. Tak butuh waktu lama langsung dijawab. "Halo-"

Yang langsung Jaehyun matikan. Matanya melotot ke Haechan, hingga laki-laki itu menatap penasaran pada temannya yang lebih tua tiga tahun. "Kenapa Jae?"

"Udah bangun anaknya." Karena Jaehyun mendengar jawaban dari sana, Alia yang sedang mengunyah makanan.

"G-gue alesan apa sekarang?"

Langsung Haechan rampas ponsel itu dari Jaehyun yang membeku. Diketiknya tulisan pada pesan ke nomor alia, 'maaf, tadi kepencet.'

Klasik sekali alasannya.

Yang Haechan maklumi, kalau sudah dalam zona cinta, manusia yang pandai bisa jadi bego. "Dasar Jaenuddin!"

🍃🍃🍃

Alia manyun, menatap rantang putih yang sudah ditata rapi oleh mamanya di depan mata. "Kenapa sih Ma tiap hari ngirim makanan? Dulu juga pas puasa ngirimnya nggak begini banget."

Kalau puasa tahun lalu, Alia hanya disuruh mengantar seminggu sekali. Dan semuanya selalu sukses, nggak ada hambatan pulang sama sekali.

"Hyoyeon kan sibuk ngurusin Jam Jam, jadi ya masaknya itu-itu aja."

"Intinya kan ada makan ma. Nggak kelaperan."

Gadis itu baru selesai membersihkan diri, lalu baru ingin menonton santapan rohani sambil menunggu buka malah disuruh ke Gang ensiti.

"Eyangmu kan udah berumur, sukanya makan yang berkuah gitu. Lah Hyoyeon mana sempet?"

"Harusnya sempetlah Ma. Kan Mbak Hyoyeon anaknya!"

Mamanya sudah tidak punya ayah sejak Alia sd. Ingat sekali waktu itu dia ada di kelas empat. Sekarang hanya punya ayah mertua. Yang mamanya jaga dan tak ingin ada penyesalan. Melayani kebutuhan masa tuanya.

Ucapan terakhirnya, "sekalian ngabuburit."

Alia berdecih, ngabuburit apaan? Mana enak ngabuburit di rumah orang. Baginya, lebih suka dirumah. Waktunya bersantai dari segala hal yang melelahkan. Istirahat.

Meskipun tetap dijalankan perintah beliau. Tetap berangkat ke rumah Eyang. Mas Yunho terlihat sedang menggendong Jam Jam, sedang anak pertamanya sibuk menonton tv. Lalu Eyangnya sedang duduk di ruang tamu.

Yang saat ini, dielus-elus pundaknya oleh laki-laki berkepala enam itu. Alia menurut, pokoknya kalau sedang dielus-elus, jadi teringat neneknya yang meninggal waktu SMP.

Masih jelas dalam rekaman otaknya, hari dimana dia sekolah. Yang saat istirahat, mamanya menelfon. Mengatakan pulangnya buat langsung ke rumah sakit menjenguk wanita renta itu.

Tapi belum sampai, baru saja dia keluar gerbang sekolah, Jaehyun menjemput. Yang katanya keluarga sedang berduka. Sampai tak kuat hati Alia mendengar, lemas kakinya saat itu.

Jeahyun tunggu, menangkan, menepuk pundak gadis berseragam putih biru. Sebagai seorang yang lebih berumur untuk berusaha terlihat dewasa, saat itu dia juga sama memakai baju seragam, bedanya celana pemuda itu berwarna abu-abu.

Benar saja, sampai rumah Eyang, Alia melihat keluarga menangis. Mbak Hyoyeon yang sampai pingsan, papanya yang biasanya terlihat kuat saat itu meneteskan air mata. Apalagi Eyang sebagai orang yang lebih lama menjalani hidup dengan beliau.

Alia tarik nafasnya panjang. Ayolah, itu sudah lama. Tak ingin berlama-lama pula, Alia pamit. Sebentar lagi buka puasa. Yang mana, saat dirinya keluar pintu berpapasan dengan Haechan.

"Eh." Yang sudah lewat beberapa meter, Haechan menoleh, berbalik lalu mendekat hingga Alia kerutkan keningnya.

"Buat lo."

"Hah?" Menatap aneh sebuah keresek berisi es kelapa murni.

"Buat buka puasa."

Masih mematung karena heran. Perilaku Haechan yang mencurigakan membuat Alia jadi suudzon. Yang lama sekali tak Alia gubris hingga Haechan memaksa tangan gadis itu menerimanya.

"Bukan dari gue, tapi dari Jaehyun."

"Maksudnya?" Karena cuaca hari itu cerah, tak ada angin tak ada hujan Jaehyun memberinya sesuatu. Apalagi Haechan sebagai kurir. Aneh sekali.

Meski sudah melangkah, Haechan sempatkan berhenti, menoleh sebelum menjawab. "Ulang tahun." Dan lebih dulu pergi sebelum Alia jawab.

Something in RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang