18 [Tapi Yeri sering melirikin lo]

169 23 0
                                    

"Astaghfirullahal'adzim." Seulgi tersentak, keluar kamar mendapati anak tunggalnya sedang senyum-senyum didepan televisi yang mati.

Lalu mengecek keningnya, siapa tahu Jaehyun demam. Yang ternyata tak ada apa-apa. Jaehyun sehat, hanya-

Mentalnya bermasalah?

"Kamu kenapa sayang?"

"Jaehyun sayang sama mama." Lalu tersenyum lebar.

Astaghfirullah. Seulgi sampai membeku mendengarnya. Bukan tak pernah mendengar si anak berucap manis, hanya saat ini, pukul sebelas malam, dimana satu jam lalu Jaehyun baru pulang kerja, tapi sekarang sudah seperti orang gila.

Naudzubillah.

Kembali menatap anaknya cemas. Mati-matian menepis pikiran negatif yang ada. "Sayang, kamu tadi lewat kuburan nggak baca doa ya? Astaghfirullah. Istighfar nak. Bentar, mama panggil papa dulu, nanti kita ke orang pinter."

Segera Jaehyun cegah lengan Seulgi, "Jae nggak papa kok Ma. Mama tidur lagi aja. Jangan lupa doa biar mimpi indah."

"Tapi Jae-" masih saja khawatir. Tak biasanya Jaehyun begini.

"Beneran Ma. Udah, tidur lagi sama papa. Mama pasti capek. Kan besok harus bangun cepet nyiapin sahur." Dan mendorongnya pelan agar kembali ke kamarnya.

Sendiri di ruang tengah, Jaehyun kembali menatap pesan yang membuat hatinya serasa ditumbuhi bunga, sampai kupu-kupu kebahagiaan hinggap.

Alia♥️

Makasih Jae😊
Selamat ulang tahun ya ... wish you all the best🤲

Hanya pesan singkat seperti itu tapi dirinya bahagia sampai dikira orang gila. Dilihatnya pukul setengah enam Alia mengiriminya pesan. Dan baru pulang kerja tadi, sehabis membersihkan diri baru dia buka. Sampai niatnya untuk langsung tidur jadi tertunda.

Beberapa kali mencoba menelfon seseorang, hingga panggilan ke lima akhirnya dijawab. Jaehyun betulkan posisi duduk di sofa, masih tersenyum lebar.

"Apaan sih ini? Awas kalo nggak penting!" Langsung terdengar suara kesal dari sana.

"Haechan. Anjir!"

"Kenapa lagi ini? Ah, ngantuk tau nggak sih!"

"Alia ngirim pesan ke gue duluan."

"Hmm ... " malas-malasan suaranya.

Jaehyun berdecak, tapi tak mengurangi kebahagiaannya saat ini. "Haechan! Denger nggak sih?  Ini berarti gue ada kemajuan kan?"

"Hmmm ... "

Tetap Jaehyun lanjutkan sesi ceritanya. Meski diseberang sana, Haechan sedang garuk-garuk leher sambil memejamkan mata lalu menaikkan selimut.

"Gue harus jawab apa Chan?"

Haechan mengusap hidungnya yang gatal, kemudian mendengus kesal, "terserah deh!" Mematikan telfon dan menaruhnya sembarangan.

Jaehyun sampai tidak bisa tidur.

🍃🍃🍃

Mendengar deringan dari ponsel membuat Alia mau tak mau membuka mata. Mengerjap sambil tangannya meraba sekitar. Mencari benda pipih yang tadi berbunyi di sampingnya, yang dia temukan di bawah bantal sebelah kanan.

'Aku ulang tahun hari valentine.'

Alia berdecak kesal sambil mematikan hp. Menaruh lagi ponsel dan kembali menutup mata. Ah, mengganggu saja. Siapa juga yang pagi buta begini membahas valentine yang masih lama itu.

Memeluk guling dan merapatkan selimut. Sebelum akhirnya kembali sadar, melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga. Cepat-cepat bangkit untuk menuju dapur. Ya, Alia yang sedang ingin sahur pakai nasi goreng. Pokoknya jangan sampai puasa nanti dia malah terbayang makanan itu.

Sementara di balik pesan yang tadi dibaca Alia, Jaehyun uring-uringan. Bolak-balik melihat ponsel. Laki-laki itu kecewa, "nggak dibales."

"Gimana?"

Haechan kembali mendekat setelah tadi menjeda gamenya. Seperti biasa, Haechan menghabiskan kuota malamnya saat sahur sambil ngegame. Tapi kali ini, pos ronda itu hanya ada kedua pemuda itu di tambah Mark yang kali ini tidur bersama Yuta.

Terniat sekali laki-laki berambut gondrong itu sampai membawa bantal sendiri ke pos ronda, yang saat ini bantal itu ditindih oleh kepalanya sendiri dan kepala Mark.

Setelah melirik tanda centang biru beberapa menit lalu tanpa ada tanda akan dibalas, Haechan menipiskan bibir. Mengusap pelan pundak sahabatnya, "sabar Jae."

Wajah temannya itu sangat kentara kecewa. Padahal semalam bahagia tiada tara, sampai sulit terpejam. Gampang sekali dirinya dipermainkan cinta.

"Besok coba lagi."

Jaehyun jawabi sambil mencebik, "lo kira undian apa?"

"Ya gimana sih? Anaknya aja masih menutup diri dari lo. Eh enggak, sebenernya menurut gue kalian aja sama-sama menutup diri."

"Terus gue harus gimana?"

"Deketin lah!"

"Ya gimana? Lo kan tau sendiri gue udah berusaha ada buat dia bahkan dari saat masih sekolah." Sampai ngegas Jaehyun bicara. Haechan saja melotot sambil menempelkan jari telunjuk di bibir. Jaehyun geram. Jatuh cinta bertahun-tahun namun tak kunjung akan berbuah manis.

"Jadi, dari dulu cewek yang suka lo ceritain sampe lebay itu si Alia? Dan gue baru ngeh kemaren? Terus selama ini, baik gue, Mark, Jeno, Johny, Taeyong sama Yuta nggak tahu gadis itu ada di depan mata?"

Jaehyun mengangguk kecil. Lalu membuang nafas panjang. "Waktunya nyerah kali."

"Yaudah nyerah aja. Terus dateng ke kondangannya Alia sama suaminya."

Laki-laki berkulit lebih cokelat dari Jaehyun itu pandai sekali mengompori, sampai Jaehyun melotot tak terima dibuatnya. "Sembarangan!"

"Coba dulu perjuangin lagi. Pake cara yang lain."

Meski Haechan sendiri tahu, setiap laki-laki di sampingnya akan berjuang selalu menoreh luka dalam  diam. Sendirian Jaehyun jatuh cinta, sendirian pula dia terluka.

"Tapi gue heran Chan. Kok Alia ngirim ucapan ulang tahun sih? Siapa yang ngasih tahu gue ulang tahun hari ini?"

Haechan berdehem, sok sibuk pada ponselnya yang dimiringkan. Kembali melanjutkan gamenya meski telinga masih tajam mendengar.

"Chan!"

"Hmm ... " lalu memutar otak untuk mengalihkan topik. "Lo sadar nggak sih Yeri naksir lo?"

Jaehyun naikkan kedua pundaknya, "nggak peduli."

"Tapi Yeri sering melirikin lo. Gue, Jeno, sama Mark yakin seratus persen kalo lo nembak Yeri langsung diterima sama tuh anak."

Sebab Haechan yakin, Jaehyun akan kecewa jika tahu dirinya yang membuat Alia mengirimi sahabatnya pesan. Haechan tahu Jaehyun akan kembali perih saat tahu jika Alia memang benar tak peduli.

Haechan sudah berusaha, berharap temannya itu akan menuju pintu yang terbuka. Minimal, menurut Haechan keduanya saling mengenal lewat ponsel.

Pengorbanan Haechan sore itu saja sudah tak berbuah. Alia terlalu keras, terlalu tak peduli, dan selalu tak ambil pusing. Meski es kelapa murni titipan Jeno yang dikorbankan Haechan sekalipun.

Something in RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang