Dua hari tak masuk kerja. Alia merasa tak enak hati dengan Sowoon. Karena kalau dirinya tidak berangkat, maka Sowoon yang menggantikan. Padahal tugasnya juga banyak, mengurus laporan dan sebagainya.
Anak-anak didiknya juga sudah banyak yang bertanya lewat pesan. Mengatakan jika mereka rindu. Apalagi Albar dan Nadia yang berkaca-kaca di video yang dikirim. Alia rindu anak-anak juga.
Sebenarnya sudah rindu sejak kemarin, tapi kondisinya sedikit buruk. Dengan perasaan dan moodnya juga yang jelek. Bisa-bisa dia tak fokus saat mengajar.
Untungnya hari ini suhu tubuhnya menurun dari demam kemarin. Wajahnya pucat, tingkahnya tak bersemangat. Jarang senyun, banyak murung dan mengurung diri dalam kamar. Hidupnya kelihatan suram.
Bangkit bagi orang lain tak semudah membalik lembaran kertas. Setelah kemarin jatuh, merangkak pun masih kesulitan. Namanya manusia, perlahan-lahan akan berhasil seiring berjalannya waktu.
Selama itu juga, ponsel Alia dimatikan. Tak menghubungi siapapun kecuali semalam. Dia baru membuka yang isinya dari anak didiknya dan teman-temannya.
Chat dari Renjun tak Alia balas. Karena sedang merasa iri pada laki-laki itu yang sudah berhasil lolos dengan nilai yang bisa dibilang mamuaskan. Sedang dirinya? Padahal berjuang bersama-sama. Meski dia akui, kesalahan memang ada pada diri sendiri.
"Kalo gitu saya permisi Bu Sowoon." Ucap seorang wali murid dari hadapan kepala unit. Tepat saat jam istirahat dimulai dan Alia keluar ruangan. Bu Tuti, salah satu ibu dari anak didiknya. Melirik sinis kepadanya saat Alia senyumi.
Membuang nafas panjang jadi pilihan. Tak ingin ribut dengan kondisinya yang memang sedang down. Sowoon terdiam di tempat. Wajahnya lesu. Pasti ada sesuatu.
Alia tahu itu Sowoon orang baik. Dia dewasa karena lebih berumur dan sikapnya yang bertanggung jawab. Sore itu, saat Alia sibuk membuat modul untuk anak-anaknya, dia dipanggil. Duduk berhadapan. Dengan wajah Sowoon yang jadi menakutkan kalau sedang serius.
"Bu Alia." Sowoon juga seperti berusaha merangkai kata agar tak melukai Alia.
Sudah dirasa sepertinya masalah itu menyangkut dirinya. Alia kuatkan hati. Berusaha membuat otak tetap fokus sambil mendinginkan hati barangkali berdarah karena masalah.
"Tadi orang tuanya Bagas laporan ke saya katanya Bagas nangis di rumah. Dan itu disebabkan oleh bu Alia yang menggunakan kekerasan dalam mengajar."
Alia buru-buru mengernyit, ""kekerasan apa?"
"Menurut yang saya dengar dari walinya Bagas, Bu Alia suka nyubit keras dan memukul bagas."
"Loh? Enggak Bu Sowoon."
"Tadi ibunya Bagas pamit. Mengatakan ingin keluar dari yayasan kita karena Bu Alia."
Alia semakin lemas. Menggigit bibir bawah. "Bu, saya nggak pernah marahin Bagas sedikitpun. Saya akui, Bagas memang sulit sekali untuk saya ajak mengerjakan modul, tapi saya sama sekali nggak pernah melakukan hal begitu."
Matanya berkaca-kaca, nafasnya terasa sesak. "Kalaupun iya Bagas saya cubit, harusnya si anak menangis disini. Tepat langsung saat waktunya saya cubit. Bukan di rumah."
"Gini Bu Alia, Bu Tuti bilang Bagas takut dengan Bu Alia. Bahkan sempat curiga Bu Alia mengancam Bagas."
Astaghfirullah.
"Kalo Bagas saya ancam, harusnya Bagas takut sama saya. Bu Sowoon tahu sendiri, kemarin anaknya keliatan fun aja belajar sama saya."
"Baik Bu Alia. Saya paham. Ini hanya laporan saja. Dan barusan orang tua Bagas mengundurkan diri dari yayasan kita. Saya sebagai rekan bu Alia sekaligus teman percaya dengan yang diucapkan. Kita sama-sama bekerja dalam satu bidang meski berbeda jabatan. Jadi saya harap kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Dan ini menjadi pelajaran untuk kita semua."
Begitukah Sowoon. Baik dan loyal. Tapi kalau sudah tegas jadi menakutkan.
🍃🍃🍃
Alia baru pulang. Tasnya saja baru digantung pada tempatnya. Tubuhnya lelah, hatinya semakin melemah. Disaat keadaannya yang tenggelam, ombak masih terus menghantam. Pada kenyataannya, Alia tak sekuat itu.
Dari dulu yang suka curhat dengan Yuju, sekarang rasanya enggan. Sedang merasa tak ada yang bisa diajak bicara untuk dapat mengerti. Padahal Yuju welcome saja. Dia oke-oke saja kalau Alia curhat. Dan dia memang ingin Alia curhat pada dirinya. Yuju ingin menjadi kepercayaan Alia dengan cara berbagi kisah hidup.
Kakinya di luruskan diatas lantai yang dingin. Biar badannya lebih enakan juga. Alia melepas peniti. Membuka kerudung dan mengipasi wajahnya dengan buku. Maklum, keluarga sederhana. Bukan orang kaya yang setiap ruangan ada kipasnya.
Pun, Alia kadang merasa sayang kalau harus memakai uang tabungan untuk kuliahnya. Dia disiplin, tak ingin membuang untuk hal kecil yang menurutnya tak terlalu penting.
Ah, dia jadi mengingat gagal kuliah lagi.
"Astaghfirullah, Arda!" Alia tersentak, suara Papanya terdengar meninggi. "Itu makanan buat serumah, jangan dib- Ya Allah..." papanya terdengar sedang menahan emosi.
"Sini Da. Udah. Makanannya jangan diaduk-aduk terus buat mainan. Mba Alia kan belum makan." Kalo yang ini mamanya. Terdengar sabar.
"Biarin."
Dan Alia mendesah pasrah. Arda memang sebandel itu. Mendengar dari kamarnya saja sudah mampu menaikkan emosi Alia yang memang sedang sensitif.
Sudah Alia tebak, Papanya kembali bicara. Dengan nada keras. "Dibilangin orang tua nurut!"
Pun kembali terdengar nada santai dari Arda. "Biarin."
Sudah dipastikan Papanya naik pitam. Anak zaman sekarang, nggak takut dengan orang tua. Apalagi Arda hari ini banyak main. Otaknya pasti lebih banyak terpengaruh teman.
Padahal mamanya sudah mewanti-wanti untuk bisa disiplin seperti Alia. Bedanya, dulu Alia patuh. Bukan seperti Arda yang susah diatur.
Dan tak lama, terdengar suara tangis anak kecil. Alia tahu, pasti adiknya. Alia tambah letih. Dia berharap dengan pulang kerumah akan mengurangi sakit kepalanya. Tapi di rumah juga terus saja semakin berdenyut.
"Pa!" Kali ini suara mamanya. "Jangan main kekerasan sama anak!" Paling Papanya menyentil mulut Arda.
"Nggak nurut! Apa-apa kalo dibilangin jawabnya biarin terus. Niru siapa itu? Siapa yang ngajarin begitu?" Papanya sudah terbawa emosi. "Pulang kerja malah bikin masalah!"
Manusiawi sebagai menusia mengeluh. Ada kalanya ingin lebih tenang dari suasana kerja yang mungkin sedang tidak dalam kondisi baik. Tak jauh berbeda dengan Alia yang ingin menenangkan diri dalam kamar. Mengurung diri sejak beberapa hari lalu.
Tak lama berselang, suara benda jatuh yang terbuat dari porselen terdengar. Mengakhiri kejadian sore itu dengan suara keras dari pintu yang menutup.
Astaghfirullah. Alia jadi ingin menangis. Mengusap kepalanya yang nyut-nyutan. Ingin mengeluh sekedar membuang peluh, tapi orang-orang malah membuatnya semakin keruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something in Ramadhan
Fanfiction"Ya, itu gue, Jaehyun." 'Gue bukan butuh jasa. Gue butuh istri. Ini Jaehyun, Alia.' Alia heran. Cahya, temannya itu kok mau sih dijodohkan? Melihat keputus asaan manusia yang takut mencoba. Pasti mencari jalan keluar termudah. Padahal, bagi Alia ja...