Ada sebuah hal yang tak bisa manusia jelaskan pada orang lain. Beberapa perkara yang hanya bisa disimpan sendiri. Tak perlu dibeberkan pada orang asing yang belum tentu mau mengerti.
Dunia ini adalah milik kita. Untuk ikut campur tangan pada urusan orang lain pun berbatas. Sebab semua yang ada dalam hidup adalah berbalas. Mereka baik, maka satu manusia itu akan merasa bersalah jika berbuat jahat. Jika satu manusia itu jahat, beberapa orang akan terus mencercanya karena kejahatan.
Meski itu tak terjadi pasa setiap insan manusia. Paling tidak, sederhana dan normalnya hati manusia begitu.
Hari ini, baru Alia dengar lebih banyak tentang perjodohan Cahya. Yang Alia tanyakan, kenapa Cahya mau menikah dengan laki-laki yang lebih tua? Dan kenapa laki-laki yang dijodohkan Cahya tak mencari pendamping hidupnya sendiri?
Kebetulan sangat, Cahya bilang dia jenuh. Butuh teman untuk main. Maka dengan niat terselubung ingin tahu tentang perjodohan mereka, Alia berangkat.
Yang ternyata, status mereka sebenarnya sudah menikah siri. Alia terkejut setengah mati. Makanya tingkat penasarannya setinggi langit. Padahal, biasanya Alia tak sepeduli itu dengan hidup orang lain.
Wait, ini bukan untuk ikut campur kehidupan orang. Sampai sekarang, Alia hanya heran dengan pemikiran orang yang saling dijodohkan. Apalagi Cahya temannya yang kemarin terlihat putus asa.
"Minumnya Ya." Cahya menyodorkan gelas berisi jus. Alhamdulillah sekali, panas begini Cahya pengertian untuk tidak membuatkan teh hangat seperti waktu sebelumnya.
Alia angguki, sambil mencomot keripik dari toples. Kadang rasanya kaku sekali, tapi kadang juga Alia merasa nyaman dan baik-baik saja dengan aura rumah Cahya.
"Nggak kerja? Kok boleh kesini?"
"Kalo tanggal merah aku libur." Jawabnya sambil nyengir kuda.
Meski sudah di depan mata, Alia jadi bingung bagaimana cara memulai obrolan tentang perjodohan tanpa menyinggung?
"Maaf Ya, tadi pas kamu chat aku nggak dibales. Belum beli kuota."
Alia angguki pernyataan Cahya, "nggak papa kok."
"Tadi kuotanya baru dianter sih."
"Anter? Wah, enak ya. Dibeliin Mas Taeil?"
Cahya tersipu, "iya."
Gadis dengan kerudung milo itu berdeham, "Cahya, Mas Taeil baik?"
"Baik. Dia perhatian. Enak diajak ngobrol, pengertian, pokoknya plus-plus."
Masih Alia cerna dalam otak. Sebentar, sepertinya Cahya saat masa sekolah terlihat seperti anak yang tak tertarik dengan lawan jenis. Maksudnya, Cahya yang jika berpapasan dengan Alia saat naik angkot akan kalem. Pendiem tak neko-neko pada temannya. Apalagi laki-laki.
Yang pernah Alia tanyai teman-teman Cahya tanpa seoengetahuan gadis itu, jawaban mereka adalah Cahya tak pernah pacaran. Well, Alia jadi khawatir, mungkin saja dia tak paham jika laki-laki yang perhatian itu buaya.
"Suka banget ya sama Mas Taeil?"
Kembali Cahya tersipu. Lalu, misinya masih dilanjutkan untuk mencari tahu. "Pas awal, belum kenal sama Mas Taeil kan pasti kaku tuh. Kamu kenapa kamu terima perjodohan itu? Apalagi perbedaan umur kalian yang lumayan."
Setelah melihat langsung suami Cahya, Alia menebak umur mereka berbeda enam tahun setelah panjangnya ucapan Alia, Cahya tersenyum lagi. "Ya gitu. Kaku banget sih. Apalagi Mas Taeil juga nggak bisa langsung akrab sama orang asing. Kamu kan tahu sendiri, aku kayak gini, Mas Taeil yang aku lihat baik, aku mau mengabdikan diri ke dia. Jadi istrinya. InsyaAllah dia bisa mendidik aku."
Waaah~
Iniloh Cahya. Dia bisa kok ngomong bahasa sastra. Ungkapannya mengharukan. Kenapa sih orang terlalu merendahkannya?
"Kamu yakin?" Pertanyaan kali ini sambil tak enak hati. Alia juga jadi seperti meremehkan orang lain. Padahal maksud sebenarnya, dia takut Cahya disakiti.
"Iya. Aku pernah denger dia ngaji. Terus selalu ingetin aku sholat. Kita nikah siri juga pendapat dari keluarganya, katanya biar udah halal dimata Allah."
Tanpa perlu ditanya, sudah Cahya konfirmasi. Alia jadi mengangguk. Berusaha meyakinkan diri Cahya akan baik-baik saja. Ya, Alia selalu merasa setiap lelaki adalah buaya. Hanya bisa menaruh perhatian lalu meninggalkan. Padahal, Alia juga meyakini jika banyak perempuan yang terlalu mudah baper. Seperti dirinya dulu.
Lalu dipersilahkan makan. Cahya menyuruh Alia untuk langsung ke dapur. Mengambil sendiri porsinya. Padahal, Alia sudah bukan lagi maniak makan dirumah orang. Alia sudah jadi gadis yang pemalu.
Mencicip lauk yang ternyata, "aku yang masak loh."
Benar-benar enak. Sampai Alia tak percaya, "serius? Kamu yang masak?"
Padahal hanya tumis kangkung sederhana. Yang biasanya dia makan tapi terasa lebih nikmat. Apakah faktor makan di rumah orang, makanya terasa lebih enak?
Sampai dia sadar. Yaaa, lihat kan. Cahya tak buruk dalam segala hal. Ada hal baik yang dia punya. Sebab Alia yakin, manusia hidup bukan untuk menyia-nyiakan diri. Tuhan menciptakan manusia bukan untuk menempati bumi tanpa maksud. Akan ada satu hal baik dari manusia itu sendiri. Entah untuk orang lain atau diri sendiri.
Meski ada saja yang menjatuhkan mental. Seperti Mamanya yang selalu tak percaya, bahkan urusan hal kecil.
"Ambilin rantang ke rumah Tante Seulgi sana. Sama Alia kalo bisa biar nggak salah terus."
Hal sekecil itu, dan parahnya, mamanya sendiri tak mempercayainya. Alia paham perasaan Cahya. Itu yang membuat Cahya kehilangan kepercayaan diri dalam hidup.
Yang saat ini, Alia berharap dari seorang Taeil. Orang yang sepertinya menjadi harapan untuk Cahya agar bisa percaya diri lagi. Tak merendahkan dirinya dari orang lain.
Memikirkan Cahya, Alia baru sadar sesuatu. Tante Seulgi, itu artinya rumah Jaehyun kan? Maka Alia kalang kabut. Berdiri di teras rumah itu. Yang dilihatnya pemuda berkaos garis hitam putih itu sedang berbaring di kursi depan rumah. Jaehyun.
Cahya langsung masuk, memanggil-manggil pemilik rumah. Sementara Alia mengernyit. Jaehyun tidur nggak sih? Emang nggak silau? Gadis itu perhatikan baik-baik wajah tampan di hadapannya, tangan kanannya di tekuk dibelakang kepala sebagai bantal. Hingga Jaehyun membuka mata. Mengerjap beberapa kali kesilauan. Lalu sedikit menyunggingkan bibir.
Alia membeku. Hingga Cahya membuyarkannya. "Disuruh ambil apa ya tadi?"
Ah iya, jadi, kelemahan Cahya adalah pelupa. Sangat mudah lupa pada hal kecil sekalipun. Cepat sekali lupa. Contohnya, jarak dari rumahnya dengan rumah tante Seulgi aja hanya sekitar sepuluh meter. Tapi Cahya sudah tak ingat alasan kenapa dia ke rumah tante Seulgi.
"Ini beneran Alia?" Masih memandangi tak percaya.
Jaehyun.
____________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Something in Ramadhan
Fanfic"Ya, itu gue, Jaehyun." 'Gue bukan butuh jasa. Gue butuh istri. Ini Jaehyun, Alia.' Alia heran. Cahya, temannya itu kok mau sih dijodohkan? Melihat keputus asaan manusia yang takut mencoba. Pasti mencari jalan keluar termudah. Padahal, bagi Alia ja...