19 [lo naksir Alia ya?]

144 25 0
                                    

Tumben sekali, pukul setengah lima sore ayahnya pulang lebih dulu. Padahal biasanya Alia yang sudah mandi baru si ayah sampai.

"Kan udah dibilang, tinggal periksa."

Tak Alia tutup pintu kamarnya, si ayah ada di ruang tengah sedang bicara dengan mamanya. Dan sebagai anak Alia penasaran apa yang tengah terjadi pada orangtuanya, cocok untuk hobinya yang suka nguping.

"Tadi udah dibujuk juga?"

"Udah, makanya ashar kesana. Emang keras kepala orangnya." Terdengar jeda sebentar, Alia masih setia menajamkan telinga, duduk di tepi ranjang sambil memeluk handuk, berniat mandi tapi masih sibuk menguping.

"Biaya berapapun bakal dilakuin. Kalo nggak mau ke klinik, ke dokter pribadi juga ayuk."

Lalu Alia keluar, tak tahan akhirnya bertanya, "siapa sih Pa?"

"Eyangmu."

Biasanya sampai dipaksa dan datang terpaksa untuk mengantar rantang berisi kolak. Kali ini datang dengan sukarela. Menyalami Eyangnya begitu sampai, benar saja, tangan beliau terasa panas.

"Sakit apa Eyang?"

Laki-laki berkulit cokelat itu membernarkan posisi duduk di sofa. "Emang sakit apa?"

Diam-diam mencebik, Alia kembali bicara, "makanya periksa, biar tahu sakit apa."

"Eyangmu ini sehat!"

Benar, Eyangnya keras kepala. Pantas saja ayahnya sampai geram. Tapi Alia akan lebih keras kepala. "Mau Alia yang anter? Sekarang? Yuk." Gadis itu berdiri, menarik tangan lelaki itu.

Seperti kebiasaan saat sebelum buka, Mbak Hyoyeon di dapur, Jam Jam dengan Mas Yunho dan Haeun menonton televisi. Dimana hari ini, di ruang tengah sedang ribut kedua anak kecil itu rebutan tontonan. Yang satu suka mobil tayo, dan satu lagi ingin menonton bocah kembar berkepala botak, upin-ipin.

"Nggak perlu. Orang Eyang sehat kok."

"Dari kemarin Ya, ngeluh perutnya sakit tapi bilangnya sehat-sehat terus!" Mbak Hyoyeon keluar, membawa rantang bersih ke atas meja ruang tamu.

"Iya kan Mba, apa susahnya ke dokter sih?"

"Nggak perlu. Eyang nggak kenapa-napa."

"Gitu terus Ya. Semua orang udah ngomong sampe mulutnya capek!" Mbak Hyoyeon memang galak. Tapi niatnya baik. Alia tahu itu.

"Amiiin. Semoga Eyang sehat selalu."

Berapa banyak lagi manusia yang harus membujuk Eyangnya? Alia membuang nafas panjang. Berniat pamit sebelum Haeun keluar dari kamar membawa setumpuk buku.

"Mbak, aku ada PR buat besok."

Minta diajarin.

"Kenapa nggak dari kemarin minta ajarinnya?" Alia kan ingin pulang, tapi tak enak dengan Mas Yunho yang suka memberinya uang jajan.

"Baru dikasih tadi."

"Harus banget dikumpulin besok?"

Yang dengan polosnya dijawabi anggukan. Mau tak mau, niat tak niat dia mengajarkan tentang pecahan. Tanggung sekali dua nomor lagi sudah Adzan.

Kalau sudah begini, Alia akan semakin susah pulang. Pertama, menyelesaikan pekerjaan rumah Haeun. Kedua, dia tak berani pulang sendiri, meski katanya setan dan Jin sedang diikat di bulan puasa. Ketiga, Mas Yunho yang biasa mengantar dengan membawa motor sendiri itu sedang buka puasa, dan sebagai seorang keponakan ipar yang baik, bukankah tak pantas memaksa orang lain yang sedang rehat untuk membantu kita.

Intinya, Alia juga pengertian dengan keluarga.

Jadi, sampai Isya dan taraweh Alia ada di gang ensiti. Apalagi Haeun dan Cahya selalu memaksa buat ikut tadarus. Ah, Alia ingin sekali menolak. Tapi tak enak hati. Dan tercatat sebagai rekor, bulan puasa tahun ini Alia jarang buka dirumah.

Anehnya, Jaehyun tak memunculkan diri. Yang Alia perhatikan dari awal, laki-laki berkulit putih itu tak ada tanda-tanda kehadiran mengikuti tadarus atau bergabung dengan Johny dan Haechan beserta yang lain.

Sampai tak sadar, Cahya sudah menawarkan wejangan tadarus malam ini. Alia angguki, lalu menyenderkan kepala pada dinding yang disampingnya jendela. Baru jam setengah sembilan saja sudah ngantuk. Payah sekali dirinya.

"Nggak pernah ditempatin sih?" Jelas sekali suara Jeno. Aya mengintip di jendela. Tiga laki-laki sedang duduk disana. Sebelah kanan berbaju koko putih, yang kiri sudah berkaos merah dan satu lagi yang ditengah sedang mengibaskan peci di depan wajah.

"Rumahnya Jaehyun tau!" Suaranya sih milik Mark.

"Denger-denger mau direnovasi." Dan ini yang ditengah, pasti Haechan. Apalagi celetukan selanjutnya, "pokoknya gue harus numpang nginep kalo udah renovasi!"

"Idiiih! Siapa elo. Lagian nih, tuh rumah kayaknya mau buat hidup berdua."

"Amit-amit, najis! Lo sama Jaehyun belok? Berdua serumah. Eww! Mending gue molor di pos ronda."

"Ini nih, sekolah tapi isinya maksiat. Makanya nggak ada ilmu yang masuk! Jaehyun mau nikahlah!"

"Oh ya? Kapan?"

"Jeno, nggak usah bikin heboh dunia pertemanan kita lagi. Cukup kemaren!"

"Ih! Gue nggak lagi ngibul anjing! Menurut lo emang Jaehyun bakal jomblo sampe firaun hidup lagi gitu?"

Laki-laki sebelah kanan dan tengah saling menghadap, mengeluarkan pandapat sambil meninggikan suara masing-masing, dan yang kiri menonton.

Dengan Alia yang di dalam masjid melirik. Mengecek para teman kecilnya. Yang sudah jadi asing lagi karena lama sekali tak bercengkrama.

"Lagian tuh si Jaehyun, orang tua udah kaya masih aja ngebet cari duit."

"Buat menghidupi calon istri."

"Lagian kapan nikahnya? Nggak ada tuh gosip Jaehyun lamaran. Paling gue denger curhatannya pernah naksir cewek. Itupun dulu. Gue tambah heran sama tuh anak, kenapa nggak kuliah aja gitu sih kaya Johny?"

Alia menarik sebelah bibirnya, ternyata laki-laki juga suka menggosipkan temannya sendiri kalo nggak ada batang hidungnya. Jadi, sesama manusia itu mirip, cuman beda cara penyampaiannya mungkin.

"Mba, pulang yuk."

Sampai Alia menoleh ke sebelah kanan. Haeun. Dan obrolan di depan mushola itu hilang tak terdengar. Alia mengangguk, "yuk."

Tapi Alia melihat Cahya masih asik mengobrol dengan Mba Dewi, "Cahya pulang nantian? Aku sama Haeun duluan ya."

Cahya mengangguk, "iya, duluan aja."

Yang saat memakai sandal, Alia grogi setengah mati. Lupa kalau golongan Mark, Haechan dan Jeno di depan mushola. Sama sekali tak melirik dan pura-pura tak ada manusia yang patut disapa. Alia terus sibuk memakainya, yang kalau sedang buru-buru malah jadi lama. Rasanya susah. Padahal cuman pakai sendal jepit, bukan high heels.

Firasatnya sudah tak karuan. Merasa ketiganya sedang melihat dirinya.

"Alia."

Aduh, mampus!

Tapi tetap berusaha tenang. Stay cool. Dirinya pandai melakukan itu saat di sekolah dulu. Alia mendongak, melihat ke sumber suara.

"Besok ngabuburit yuk."

Kedua teman si pembicara yang ada di kedua sisinya melongo. Dan Alia tahu itu. Apalagi ekspresi Mark yang malah terkesan melotot. Tapi beberapa detik kemudian, Jeno menampilkan wajah jenaka. Menipiskan bibir menahan tawa.

Oh begitu. Alia merasa sedang diledek. "Enggak, makasih. Aku besok sibuk."

Sampai Alia tak terlihat lagi di belokan sana, Jeno terbahak. Apalagi mendengar suara Mark bertanya, "lo naksir Alia ya?"

Haechan mendengkus, menaikkan kedua bahunya. Yang langsung disangkal Jeno, "nggak mungkin! Haechan tuh cuman lagi cari pelampiasan Mark. Kemaren ngajakin gue ngabuburit tapi guenya tolak, jadi ngajakin yang lain."

Something in RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang