43 [dianter sama pacar ya?]

135 20 0
                                    

Katanya ucapan adalah doa, maka dari itu harus menjaga lisan,

Kemarin mungkin malaikat sedang lewat saat Yuju mengumpatinya, bahkan mungkin ikut mengaminkan makanya benar terjadi. Motornya mogok. Dan hari itu meski masih pagi, matahari sudah terasa panas.

Alia mendengus. Untungnya dia buru-buru menepi saat merasa ada yang aneh dengan motornya. Bisa gawat kalau masih di tengah jalan raya dan berhenti disana.

Sedang diliputi kebingungan. Alia membuka ponsel. Sudah pukul delapan dan pastinya terlambat kerja. Maka dia segera menghubungi ketua unit lebih dulu untuk izin, pun supaya Sowoon-kepala Unit-menggantikannya mengajar sementara.

Kemudian mencari nomor Yuju. Mungkin anak itu bisa membantu, atau juga langsung menelfon Renjun saja siapa tahu mau menjemput seperti kasusnya Yuju kemarin.

"Alia?"

Mendongak mendapati Jaehyun di sampingnya. "Eh Jae." Lalu melirik Haechan yang ada diatas motor dekatnya.

"Kenapa Ya?"

"Mogok nih."

"Kok bisa?"

Kenapa sih? Kalau orang motornya mogok ditanya begitu? Alia menggeleng. Mana dia tahu, kan bukan montir.

"Tangkinya kosong kali Jae, nggak ada bensin." Celetuk Haechan.

"Gue baru ngisi full kemaren kok."

Mencoba menstandar dua motor Alia. Menstater berkali-kali, sambil menggenjot pedal. Namun juga tak menyala. Haechan yang sibuk menonton kembali berkata, "pasti beloman di service."

"Iya." Jawab Alia langsung.

"Idiw! Berapa taon nggak dipijet nih motornya?"

"Setaun kayaknya."

"Gila! Punya motor tuh dijaga."

Alia berdecak. Malas meladeni. Langsung menatap Jaehyun di depannya, "nggak bisa ya?"

"Dibawa ke bengkel aja. Lo berangkat sama gue ntar Haechan yang ngurus."

"Terus ntar pulangnya?"

"Gue anter kesana motornya."

"Nggak papa?" Sebenarnya tak enak hati. Sering sekali merepotkan Jaehyun. Tapi namanya juga butuh, mau bagaimana lagi?

"Iya." Kemudian beralih pada Haechan yang sedang berkaca di spion. "Motornya Chan. Gue anterin Alia, lo bawa motor ini ya ke bengkel."

Tanpa kata turun dari kendaraan itu, tapi tatapannya suram untuk Alia. Gadis cantik dengan baju rapi itu mengikuti arahan Jaehyun untuk menaiki motor. Duduk dibelakangnya kemudian menjauh meninggalkan Haechan.

Tepat motor yang tadi dibawanya itu pergi, bibirnya mendumal. "Giliran yang susah aja dikasih ke gue. Untung gue inget kebaikan lo Jae. Astaghfirullah." Untung juga Haechan ingat Jaehyun sedang dalam masa pendekatan.

Mendekatkan diri dengan pujaan yang alhamdulillahnya akhir-akhir ini berjalan baik. Seolah memang sejak Seulgi tau, Allah juga ikut ridho kedua manusia itu untuk saling berbagi rasa.

Dalam pandangannya menatap jalanan, bibirnya tersungging. Alia tanpa disuruh memegang pinggangnya. Pikirannya mulai ngawur, membayangkan nanti kalau sudah berumah tangga dengan Jaehyun yang mengantar istrinya. Alia.

Ah, romantisnya.

"Belok kiri Jae."

Terkesiap. Astaghfirullah, untung tidak terjadi apa-apa hanya karena Jaehyun melamunkan hal yang tak pasti.

"Di depan Jae. Bangunan warna-warni itu ya."

Menuruti yang dikata Alia. Berhenti tepat di depan gerbang. Yang mana sudah ramai. Beberapa ibu-ibu menatapnya seolah menjadi pusat perhatian. Alia turun, "makasih Jae." Sambil tersenyum yang bagi Jaehyun sungguh manis.

"Ntar motornya gue kabarin lagi."

"Oke." Sebelum akhirnya memasuki bangunan itu.

Sedikit membungkuk menunjukkan kesopanan sebagai pengajar untuk para wali dari anak didiknya. Sampai kakinya hampir berlalu dari pintu untuk masuk lebih dalam, "bu Alia tadi pacarnya ya?"

Alia pahami, tak semua orang sekarakter. Bagi Alia, apa yang dilihatnya apapun itu akan di simpan tanpa penasaran, kecuali orang yang sangat dekat dengannya. Toh hidupnya sendiri masih banyak yang harus diurus.

Tapi lain dengan ibu ini yang mungkin pemandangan barusan cukup menarik. Pengajar di yayasan ini memang semuanya muda. Paling tua mungkin dua puluh tujuh, dan baru Alia yang datang diantar oleh seorang lelaki.

"Eh, bukan bu. Permisi."

Tak ingin lagi ditanya banyak hal. Meski setelahnya, saat makan siang tiba Mbak Airin dan Mbak Sowoon mengintrogasi.

"Motor bu Alia beneran mogok?"

Karena di tempat kerjanya semua staf di panggil bu. Tak pandang umur bahkan itu Alia sendiri, yang baru lulus tahun kemarin sudah di panggil bu. Awalnya risih, tapi makin kesini terbiasa.

"Iya Bu sowoon."

Airin menoleh dari layar ponsel. "Itu dianter sama pacar ya? Ganteng."

"Enggak mbak. Bukan." Kadang dengan Airin masih suka memanggil Mbak, karena perempuan itu terbiasa dengan panggilan itu. Kecuali Sowoon yang rasanya memang sudah sangat akrab di panggil Bu sebagai kepala unit.

"Masa sih? Terus? Teman tapi mesra?" Alia menggeleng lagi. Aduh, bingung jawab apa.

"Itu- bisa dibilang sodara lah Mba." Lalu tersenyum kaku.

'Maaf Jae, padahal lo adalah pujaan hati.' Karena merasa ragu dan dikira ngaku-ngaku kalau sampai bilang Jaehyun adalah Mas Doi.

"Kok nggak mirip?"

"Masa sih?"

Sowoon mengangguk. Meneguk air dari botol. Alia melihat bekalnya tak minat karena lauknya tumis kangkung.

"Mungkin karena bukan sodara kandung kali ya."

"Tapi kok bisa seganteng itu sih Ya? Heran."

"Bu Airin jangan suka melirik. Tek bilangin sama Mas Suho baru tahu rasa."

"Hehehe ... enggaklah. Mba Sowoon jangan ngadu."

Terserah mereka saja mau memanggil temannya dengan sebutan apa. Yang penting enak didengar dan tidak neko-neko. Btw, Airin dan Sowoon memang sudah mengenal lama sejak kerja di yayasan ini. Mungkin sekitar tiga tahunan. Makanya mereka terdengar lebih akrab.

"Buat Mba Sowoon aja kali. Tuh Ya, Mba Sowoon minta nomornya Mas-mas yang tadi pagi nganter."

Alia tersenyum kaku. Mungkin seperti ini cara para perempuan itu mulai mendekati Jaehyun karena parasnya yang subhanallah.

Membuat hatinya menyadarkan otak untuk lebih sadar diri. 'Aku siapa? Aku bisa apa?'

Dengan kegantengan Jaehyun, artis pun akan takluk mungkin. Makanya jangan berharap. Jaehyun bisa memilih yang lebih baik dari dirinya. Yang lebih cantik dan pandai dalam segala urusan. Bukan dirinya. Ayolaaaah ....

Something in RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang