Alia mendengus. Kenapa harus secepat itu waktu berjalan. Malah tahu-tahu sudah hari masuk kerja. Ya walaupun dirumah hanya rebahan, tapi tahu sendiri, senikmatnya masusia hidup adalah rebahan.
Tapi kalau rebahan berkepanjangan juga nggak bagus. Maka Alia hanya diberi waktu libur satu minggu setelah lebaran. Berangkat sedikit ogah-ogahan karena sebelumnya sedang asik mencium kasur.
Kemarin sehabis bersih-bersih Alia akan memandangi ponsel, tapi sekarang malah sudah harus bergegas. Moodnya kurang baik rasanya untuk menghadapi anak-anak.
Tapi ternyata, begitu sampai disana melihat para bocah yang ceria membuatnya oke-oke saja. Apalagi seorang murid sudah bergelayut padanya. Nadia.
"Bunda, kangen."
Alia senyumi anak kecil bergigi ompong itu. Memosisikan diri agar tingginya setara. "Boong."
"Beneran." Memukul Alia dengan manja. Alia jadi terkekeh.
Lalu perempuan paruh baya mendekat, "Maaf bu, ini Nadia bilang kangen terus jadi berangkatnya cepet." Satu jam lebih cepat.
Yang harusnya jam sembilan jadi jam delapan. Ibu Nadia merasa tak enak hati tapi mau bagaimana lagi, dia adalah seorang ibu yang menomor satukan anak untuk keinginan si kecil asal itu positif.
Alia mengangguk tersenyum, "iya bu nggak papa. Ka Nad pengen banget ketemu bunda ya?"
Kali ini malah terlihat malu-malu.
Pada akhirnya, Alia sudah nyaman dengan rutinitasnya. Mengingat sebagai seorang pengajar yang mengajak mengenalkan huruf kepada anak kecil berumur tiga tahun sampai tujuh tahun.
Hatinya sudah terbiasa dengan kondisi ruangan yang dipenuhi tawa anak kecil. Membuat moodnya yang seanjlok apapun akan baik-baik saja selama tak mengguncang batinnya.
"Ya, mau makan nggak?"
"Nanti aja lah Mba." Jawabnya pada perempuan cantik yang menjadi partner satu ruangannya.
Setiap jam, satu pengajar anak memegang empat anak. Dan di dalam satu ruangan terdapat dua orang pengajar. Bermain dan bercerita banyak dengan anak-anak membuat waktu berjalan lebih cepat.
"Sholat dzuhur dulu deh Mba." Karena sudah jam makan siang. Waktu istirahat.
"Eh Ya, boleh pinjem HP nggak? Punya gue mati nih, nggak bawa cas." Adalah Airin. Yang baru saja mengecek tasnya.
Alia menyodorkan ponsel pada partnernya. Kemudian berlalu untuk mengambil air wudhu. Untungnya Mba Airin adalah tipe senior yang baik di dunia kerja. Dulu Alia benar-benar diajari dari awal dengan sabarnya.
Sesekali merasa tak enak karena selalu merepotkan. Bertanya banyak tentang metode mengajar yang kadang masih sulit untuk di sampaikan langsung pada anak. Apalagi itu bolak-balik.
Tapi katanya, Mbak Airin mengerti susahnya menjadi pemula. Makanya dia tetap ajari dengan sabar meski kadang memang merepotkan.
"Ya, ada Chat nih tadi. Tapi hp lo mati. Belum di cas juga ya? Maaf ya."
"Nggak papa kok Mba. Biarin aja."
🍃🍃🍃
Jaehyun kembali urung-uringan. Seharian Alia tak mengabarinya. Dia kirim pesan tiga kali juga tak dibalas. Padahal sempat terlihat online tapi tak juga meread pesannya.
Yang sekarang, di tempat kerja dia malah bolak-balik melihat ponsel. Itupun colong-colongan. Tak mungkin lah Jaehyun terang-terangan begitu membuka ponsel.
Walau sudah dengar lewat penuturan temannya, kata Haechan sih "gue liat Alia bawa motor. Rapi gitu. Tapi kayaknya baru pulang. Kerja kali."
Tapi kok nggak dibalas sama sekali? Sudah sampai isya juga masih ceklis. Ah, Jaehyun kesal. Kerja pun tak fokus.
"Loh Mas, saya cari novel Rindu kok di kasih Negeri Para Bedebah?"
"Eh!"
Kondisi toko sedang sepi, jadi karyawan lain pun sedikit mendengar. Jadi bahan gosip dan cibiran disana.
"Kenapa sih Jae?"
Tak Jaehyun tanggapi. Kembali menata buku yang sempat berantakan.
"Ada masalah apa Mas Jaehyun?"
"Galau ya Jae?"
"April juga shift sore loh. Kalo lo butuh semangat bisa gue kodein."
Jaehyun berdecak. "Diem deh Ming!"
"Waah, Jaehyun pasti lagi PMS."
Siapa lagi kalau bukan Mingyu. Yang rela jadi perantara April untuk sang pujaan. Karena dengan begitu, kadang dia dapat untung. Misal saja Jaehyun yang dikasih kotak makan tapi tak diterima. Maka yang menghabiskan adalah dirinya. Tapi salahnya mengadu pada April jika sudah Jaehyun habiskan dan berkata terimakasih.
Sebenarnya mengatakan itupun Mingyu terpaksa, karena di posisinya, ingin mengatakan Jaehyun menolak pun tak tega. Meski bukan perempuan, Mingyu tahu perasaan seorang wanita jika patah hati. Karena adik dan kakanya cewek.
"Mau gue salamin nggak buat dia?"
"Tolong jangan ganggu gue!"
"Jae, gue mau pesen makan disana. Mau nitip salam nggak?"
"Jongkook lo nggak usah ngajak ribut ya!"
Lalu terkekeh semua yang ada disana dengan kesalnya Jaehyun. Wajahnya terlihat kacau. Uringan-uringan tak jelas dan malah terkesan lucu dimata teman yang lain.
Merasa sakunya bergetar. Jaehyun segera kebelakang. Menuju toilet dan untungnya benar. Alia sudah membalas pesannya.
'Nggak punya kuota. Beliin dong.'
Jaehyun tersenyum. Pun status Alia masih online. Langsung dia jawabi, 'iya. Ntar gue beliin.'
Sejak dari pantai, keduanya rutin mengirim pesan. Banyak sekali pembahasan dan Alia yang jadi cepat membalas. Tak lagi seperti diawal yang balasnya beberapa menit dulu.
'Gue juga nggak punya HP.'
'😑😑😑 nggak sekalian gue beliin seperangkat alat sholat?'
'Kalo itu gue masih punya🤗'
Sedang asyiknya sampai lupa waktu. "Jae, lo mati ya? Kok lama?""Iya nih gue keluar."
Untuk yang terakhir sebelum kembali pada lapangan kerjanya, 'gue kerja dulu ya. Buat beliin lo kuota😌'
'Iya, semangat.
Kerja keras ya biar sekalian beliin konter sama penjaganya.
Tapi yang di seberang jalan raya deket marketnya Mbah Sooman.
Ganteng soalnya.🥳''🤨🤨🤨👊'
KAMU SEDANG MEMBACA
Something in Ramadhan
Fanfiction"Ya, itu gue, Jaehyun." 'Gue bukan butuh jasa. Gue butuh istri. Ini Jaehyun, Alia.' Alia heran. Cahya, temannya itu kok mau sih dijodohkan? Melihat keputus asaan manusia yang takut mencoba. Pasti mencari jalan keluar termudah. Padahal, bagi Alia ja...