Alia memang lelah. Pikiran dan batin seolah diuji bersamaan. Bahkan selama perjalanan pulang dari tempat kerja, Alia tak fokus pada jalan, sering melamun. Yang Alhamdulilahnya tidak terjadi hal buruk.
Mengenai yang terjadi hari ini. Alia pikir semua baik-baik saja, yang maksudnya adalah, setelah keluarnya bagas, yayasan dalam keadaan baik. Bukan semakin memburuk seperti yang tadi dia curi dengar.
Sowoon dan Airin biasa saja, seolah memang sengaja menyembunyikan hal itu dari Alia sampai membuatnya kecewa. Tak habis pikir dengan jalan pikiran mereka, padahal Alia juga karyawan disana.
Alia paham yang dimaksud pertumbuhan SPP. Yang mana setiap bulan, Jihyo selaku atasan yang memegang unitnya juga menarget jika nominal yang di dapat tidak boleh berkurang.
Alia mengerti, Sowoon berusaha sangat keras mendapatkan anak didik dari sosialisasi setiap hari agar dalam satu bulan murid mendaftar yayasan itu ada. Sowoon yang keluar lapangan, panas-panasan. Yang kalau mepet dalam waktu tiga puluh hari sudah harus mendapatkan anak didik rela mendatangi dari rumah ke rumah.
Yayasan tempat Alia bekerja tak sebesar itu, makanya tempat kerjanya hanya berupa bangunan pas dengan tiga ruangan utama untuk kelas, satu dapur dan kamar mandi, di depan sudah ada tempat wali murid untuk menunggu. Dengan sistem sosialisasi masih manual. Gajinya pas-pasan.
Tapi Alia bahagia. Dia suka dengan tempat itu karena disana dia bertemu Sowoon dan Airin. Seenggaknya, di awal Alia kerja, kedua seniornya itu tak berlaku semena-mena. Banyak mengajari dan memaklumi ketidak bisaannya.
Pun jadi bertemu banyak anak kecil. Mengenal si nakal Albar yang walau suka membuat masalah mampu Alia tangani. Satu hari berangkat membuatnya mengeluarkan banyak kesabaran, tapi kalau tak muncul malah dicari.
Dan dengan Nadia, anak kecil ompong itu sudah dianggapnya keluarga. Sedekat itu. Yang kalau pipis minta diantar, semangat belajarnya tinggi, suka Alia cubit-cubit pipinya.
Banyak sekali kenangan disana. Yang nakal pernah Alia temui, yang jail juga ada, si cengeng pun tak luput dalam kehadiran, dan yang patuh ada dalam daftar.
Kalau Bagas, anak didik Alia yang satu itu memang sangat aktif. Dikelas saja hobinya lari-lari, tak jauh beda dengan Albar. Kalau sudah waktunya mengerjakan modul banyak alasan. Alia tahan-tahan. Dia sabar-sabarkan diri. Ingin terus berkembang dengan tahu cara yang baik agar anak sejenis bagas suka belajar. Meski susah.
Alia akui pernah menangis karena Bagas. Saat itu, dia sedang datang bulan. Emosi yang biasanya dikeluarkan harus ditahan. Dan itu terjadi dengan sangat baik. Bagas lari-lari, tak mau dibilangi, mengerjakan modul saja asal.
Saat Bagas menyobek kertas modul, Alia hembuskan nafas panjang. Tidak boleh marah-marah, itu sudah ada dalam aturan. Sampai Airin mengatakan untuk sabar. Tapi puncaknya, Bagas menarik kerudungnya dengan sengaja sampai lepas.
Hari itu Alia menyerah. Sering makan hati kalau mengajar anak macam begitu. Tapi saat ini, orangtuanya malah menyebar berita tak benar. Mengerti atau tidak, kesabaran yang Alia keluarkan untuk Bagas tak dihargai orang tuanya.
Menyakitkan.
Katanya, guru adalah profesi mulia. Sebagai penyalur ilmu yang kebaikannya selalu dikenang. Alia tak meminta agar para orang tua menjungjung nama guru. Menyanjung begitu indahnya.
Tidak.
Yang Alia ingin hanya rasa hormat. Dihargai pengorbanannya mendidik para anak-anak. Alia tak pernah ingin membandingkan gaji. Tapi kadang Alia jadi memikirkannya. Apalagi ucapan Yuju diam-diam masuk hatinya setelah mendengar curhatannya.
Uang perbulannya tak banyak, walau katanya gaji dari unitnya lebih besar daripada nominal seorang guru honorer atau guru TK dan PAUD. Tapi namanya hidup, mungkin itu sama dengan kesabaran dan ketelatenan yang di keluarkan. Meski nyatanya, sabar itu tanpa harga.
Tak bisa berkata-kata saat balasannya begitu. Alia sakit hati. Perasaannya terluka dan batinnya menderita.
Sepulang kerja pun, Alia malah mendapatkan hal tak mengenakkan. Merasa suram saja tempat yang dianggapnya nyaman. Papa dan mamanya saling menghindar. Seperti masalah yang semakin rumit. Mama di dapur, Papa di ruang televisi. Tapi dengan wajah yang sama-sama tak bersahabat.
Arda, dia sedang main ke rumah tetangga. Bagusnya, dia jadi tak mendengar teriakan akibat emosi. Tapi itu hanya angannya. Karena setelah papanya keluar kamar, beliau tiba-tiba berkata dengan ketusnya, "baju putih yang biasa belum dicuci? Bukannya ngerjain pekerjaan rumah, terus ngapain kalo suami kerja?"
Alia yang saat itu sedang makan berhenti. Sedang dipaksakan untuk mengonsumsi karbohidrat agar tubuhnya kuat, dia jadi semakin tak nafsu. Menghentikan aktifitasnya karena rasa makanan yang dimakan sama sekali tak enak.
"Sebagus apa sih kerjanya, sebanyak apa uangnya berani bilang begitu!" Dumal mamanya setelah Papanya pergi.
Kalimat itu tak Alia gubris, memilih keluar rumah membawa tas dan kunci. "Kemana Ya?" Tanya si Mama.
"Beli es." Jawabnya kemudian melajukan motor.
Agar hatinya dingin. Tak semakin besar luapan api marahnya pada kondisi ini. Saat ini, seolah dunia memang sedang bersekongkol untuk membuatnya kecil. Menebas kepercayaan diri dengan terus menusuk perasaannya.
Orang tuanya saja begitu, meski sudah berumur tapi kalau marah tak pantas ditiru. Alia benci. Dengan tujuannya saat itu hanyalah taman kota. Sore hari ini ramai, untungnya bangku di dekat jalanan kosong.
Ingin mencari tempat pelampiasan, tapi tak kunjung menemukan. Ke rumah Yuju, terlalu jauh. Ke rumah Eyangnya mau ngapain? Nangis disana yang ada malah banyak pertanyaan.
Alia hanya mampu mengeluh sendiri. Menekan batinnya untuk terus bertahan dan hidup seburuk apapun situasinya. Alia kuat. Karena kata Jaehyun, dia memang hebat.
Gadis itu mengusap wajahnya kesal. Otaknya terus menerus memikirkan yang mengganggu. Dia stres. Merasa pusing dengan yang terjadi. Berkali-kali menghembuskan nafas panjang seolah batu besar disangga pundaknya.
Berantakan sekali Alia. Penjual cilok keliling pun langsung tau Alia sedang punya masalah meski melihat sekilas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something in Ramadhan
Fanfiction"Ya, itu gue, Jaehyun." 'Gue bukan butuh jasa. Gue butuh istri. Ini Jaehyun, Alia.' Alia heran. Cahya, temannya itu kok mau sih dijodohkan? Melihat keputus asaan manusia yang takut mencoba. Pasti mencari jalan keluar termudah. Padahal, bagi Alia ja...