"Maaf." Alia menoleh pada Cahya di sampingnya. Mengernyit tapi bibirnya terus mengunyah. "Buat?"
"Tadi marah gara-gara gue tinggal ya." Jawabnya balas menatap Alia. Membahas kejadian tadi sore saat ngabuburit.
"Sorry. Haechan bilang lo bakal sama Jaehyun jadi gue-"
"Enggak kok. Gue nggak marah sama lo. Tenang aja." Kembali bersikap santai. Alia memang sama sekali tak marah dengan Cahya.
Lalu kembali menyendok mie level sepuluh yang dibeli di kedai Pak Siwon. Sudah dari dulu diingin, tapi baru sempat dibeli sekarang.
"Berarti lo marahnya sama Jaehyun?" Hampir saja tersedak, lalu meneguk minum. Sedang di bulan puasa, jadi Alia hanya ingin sedikit jujur. Mengangguk lalu menyeruput kuah mienya yang berwarna merah. Menggoda sekali.
"Serius?" Tanya Cahya memastikan.
Kalau dipikir-pikir lagi. Jujur juga buat apa. Toh Alia tak mau lagi di permalukan hanya karena jatuh cinta sendirian. Alia merasa gengsi jika cintanya bertepuk sebelah tangan. Malu dan takut dibully orang lain hanya karena menjadi bucin.
"Ha?" Melongo sebentar lalu menggeleng. Berakting untuk mengelabuhi Cahya agar terlihat natural.
"Lo tadi ngiyain."
"Enggak kok." Sangkalnya kepedasan. "Lo salah liat kali. Kan gue lagi makan."
Lama-lama merasa gerah. Bibirnya sudah memerah, lidahnya panas, hidungnya berair, dan bawah matanya hingga hidungnya berkeringat. Sudah gelas ke empat Alia minum namun masih kurang.
Jadi Alia kembali ke dapur menambah air. Berjongkok sebentar. Beberapa kali menjulurkan lidah. Air liurnya terasa lebih encer. Meneguk sekali air putih di gelas dalam genggaman. Memandangi pintu keluar dengan tatapan kosong. Entah kenapa dia seberani itu meski sedang di dapur sendiri.
Lalu kembali mengelap keringat. Bibirnya terasa dower. Hingga sebuah tangan memberinya gelas berisi teh manis hangat, Alia mendongak. Menatap tajam laki-laki di sampingnya.
"Minum ini biar cepet ilang pedesnya."
Hanya Alia tanggapi dengan kerutan di kening. Masih menampakkan wajah garang. Tapi si lelaki memaksa Alia untuk menerima. "Maaf ya, kalo tadi sore itu gara-gara gue. Jangan ngambek lagi. Gue nggak bisa-"
"Jaehyun!"
Keduanya menoleh, Jeno berdiri di depan pintu dapur. "Mana piringnya nih?"
"Oh iya."
Lalu kedua lelaki itu sibuk dengan alat makan yang terbuat dari porselen. Membuat Alia menjauh dengan sendirinya. Kembali ke ruang tamu dengan Cahya yang fokus dengan Mienya.
Kembali mengobrol meski itu hal tak penting sekalipun. Jaehyun lewat tak Alia pedulikan. Untuk apa?
Alia memang jadi sangat marah karena bakso pemberian Jaehyun. Bukannya menenangkan malah membuat rasa kesalnya naik jadi tingkat kronis. Yang sampai sekarang pun masih belum Alia tanyakan maksudnya, apalagi berterima kasih.
Toh, bakso yang dia kira sebagai permintaan maaf ternyata hanya pas dimakan serumah. Malah dirinya tak kebagian makanya memilih meluapkan emosinya lewat mie ceker level sepuluh.
Akhirnya, Alia simpulkan jika bakso itu hanya sedekah dari Jaehyun untuk keluarganya.
Banyak hal dibicarakan sampai tak terasa jarum pendek menunjukkan pukul sebelas malam. Perasaan tadi masih pukul setengah sepuluh. Sedang pos ronda masih terdengar ramai.
Cahya memilih pamit dengan keputusan Alia untuk membereskan piring dan perangkat lainnya yang tadi dipakai. Sadar diri menginap di rumah orang.
"Astaghfitullah." Sebuah pekikan tertahan muncul. Membuat Alia melirik tajam pintu dapur. Paham sekali suaranya.
Haechan.
"Gue kira kunti."
"Setan lo!"
"Ngambek mulu sama gue." Katanya menaruh tumpukan piring di samping Alia.
"Nyuci sendiri kampret!"
"Idih! Heh gorila, jadi cewek tuh jangan setengah-setengah kalo ngerjain tugas rumah. Makruh."
"Bodo!" Suara itu sedikit menjauh. Haechan melihat layaknya boss di pintu dapur. Mengetik sesuatu pada ponsel. Alia berdecih, songong sekali.
"Lo yang pake ya! Nggak usah nyuruh-nyuruh orang!"
Tanpa jawaban suara, membuat Alia mendumal semakin jadi. Kembali melirik pintu dapur kesal. Yang mana tubuh lelaki berkukit coklat itu terganti dengan lelaki jangkung dengan tingkat menawan yang besar.
Mendengus jadinya. Alia pasrah pada keadaan. Dia lagi dia lagi. Alia ingin move on padahal.
Haechan masih berusaha menjadikan mereka berdua couple. Padahal belum tentu Tuhan merestui.
"Gue bantuin mau?"
"Nggak perlu."
Katanya membilas benda-benda itu. Membersihkan busa-busa yang masih menempel. Yang Jaehyun ambil piring bersih itu lalu menaruhnya pada tempat piring.
"Maaf Ya. Sampe kapan mau ngambek?"
"Nggak ngambek kok." Jawabnya masam.
"Jujur aja Yaa ... "
Entah kenapa terasa tengah di ledek. Gadis itu menoleh pada lelaki yang lebih tinggi darinya, yang dibalas saat itu juga tatapannya.
Hanya lima detik, Alia mengernyit atas dialog Jaehyun sebelumnya, tapi tatapan lelaki itu terlalu dalam menghanyutnya. Entah kenapa terasa tulus dengam bibir yang menipis hingga nampak dimple pada pipi mulusnya. Jantungnya tak mampu terus bertindak normal berakhir berdisko ria. Alia berpaling. Yang seperti ini, godaan syaitan terkutuk! Batinnya.
Jaehyun mengambil lagi piring yang baru Alia bersihkan untuk di taruh pada tempatnya. Jadi sedikit membayangkan kalau nanti sudah menikah. Eh Astaghfirullah. Bibirnya dibasahi, lalu menggeleng kecil menghilangkan pikiran syaitan itu.
Mumpung berdua, mungkin saja ini waktu yang tepat buat pengakuan. Tapi kembali mempertimbangkan Alia yang tadi ngambek. Ah, bukannya paling enggak dicoba dulu?
"Alia-" panggil Jaehyun terpotong oleh sebuah suara.
"Jae?" Sontak keduanya menoleh. Di pintu dapur, Jeno sudah berdiri. "Kalian berdua-" Lalu sebuah tangan melingkar pada pundaknya. Haechan. Menoleh pada Jaehyun dan berkata, "udah ketemu Jae duitnya? Warna merah. Sayang banget."
Membuat Jeno melebarkan mata, bertanya pada Haechan. "Duitnya Jaehyun ilang?"
Semantara Alia berjinjit, jadi berbisik pada lelaki yang sedang melongo kebingungan, "lo juga dikibulin Haechan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Something in Ramadhan
Fanfiction"Ya, itu gue, Jaehyun." 'Gue bukan butuh jasa. Gue butuh istri. Ini Jaehyun, Alia.' Alia heran. Cahya, temannya itu kok mau sih dijodohkan? Melihat keputus asaan manusia yang takut mencoba. Pasti mencari jalan keluar termudah. Padahal, bagi Alia ja...