CHAPTER 35: YOSHA!

355 53 4
                                    

Aku menelan ludah, bersiap menerima kekalahan. Mau dibawa ke darkness world atau dibunuh di sini pun sama saja, aku tetap akan tiada. Dengan napas tersengal aku memejamkan mata, pasrah. Sementara Daidan mulai mengayunkan tangan hendak memukulku dengan sihir pamungkasnya. Perjuanganku sia-sia.

Tapi untuk sekian kalinya, takdir masih memihakku. Daidan yang berjarak tiga langkah dariku tiba-tiba terpaku, seolah ada rantai yang melilit tubuhnya.

"Maaf sepertinya aku tidur terlalu lama." Di belakangku, seorang anak laki-laki tertatih berusaha berdiri. Dia terhuyung dengan sebelah tangan terjulur kedepan, menahan sihir yang baru saja di keluarkannya.

"Serang sekarang Yu-chan! Aku tidak bisa bertahan terlalu lama." Yoshio, dia yang sudah membuat segel dengan sihir kuno.

Serangan pada jantungnya tidak berdampak, jadi kubuat banyak pedang dari berbagai macam elemen. Sekitar 12 pedang kutancapkan di tubuhnya dan 3 pedang cherup tepat menikam jantungnya. Aku memaksakan setiap jengkal tubuhku bergerak. Darah hitam keluar dari mulutnya tepat saat semua pedang itu menembus tubuhnya. Aku mencoba untuk membuat pedang lainnya dan menikam Daidan di banyak tempat. Dia tampak mengerikan dengan semua pedang yang menembus tubuhnya.

Dalam sekali serangan lagi, aku mencabut semua pedang itu dan membuat lebih banyak pedang lainnya. Dalam satu hentakan kutancapkan semua pedang itu di tubuh Daidan. Tubuhnyasempurna tertutup pedang dan tampak mengerikan.

Perlahan dia mulai kehilangan kekuatan untuk berdiri dan sihir hitam menguap keluar dari tubuhnya dan seolah tersapu angin.

"Akhkk..." Daidan mengerang.

"Semuanya berakhir, Daidan." Aku berujar tegas di hadapannya—mendorong pedang-pedang itu semakin dalam sampai menembus tubuhnya. Bagaikan kaca pecah, suara berisik itu terdengar di mana-mana. Mungkin itu juga terjadi di medan pertempuran barat.

Tubuh Daidan mulai menguar, karena dia memang bukan bagian dari dunia ini. Pasir-pasir hitam dan putih beterbangan ke udara dan sebuah kilas balik hidupnya seolah ditayangkan pasir-pasir putih yang terbawa angin. Kami menyaksikan memori masa lalu itu.

"Ini kekuatanku karena memori ini meminta di perlihatkan. Sebagian dari dirinya yang tertutup kegelapan ingin meminta maaf padamu, Yuzuru." Nako yang berujar. Peri laki-laki dengan sayap keemasan itu memandang datar.

"Ibu, apa ayah menyayangiku?" Daidan kecil terisak di pangkuan ibunya."Tentu saja anakku. Walau kau bukanlah putra mahkota, kau tetaplah putranya." Ibunya, Rinka menjawab.

Daidan kecil yang mungkin masih berusia 5 tahun membenamkan kepala di kaki ibunya.

"Ayah akan memarahiku Ibu, karena aku kabur dari latihan berkuda." Daidan mencicit di pangkuan ibunya. Rinka-sama hanya terkekeh kecil.

"Aku tidak akan memarahimu, Daiji. Kau memang nakal, berbeda sekali dengan Briant tapi tanpamu, tak ada tawa di Kerajaan ini." Kakek angkat bicara dan menggendong Daidan kecil. Sementara Rinka-sama menunduk hormat pada Kakek dan Nenekku. Mereka tampak seperti keluarga yang bahagia, bahkan kedua nenekku, Rinka dan Hana juga tampak akur.

"Jangan melakukan hal-hal aneh Daiji! Aku bisa dimarahi Ayah kalau kau terluka." Briant—Ayahku mengomel dengan tangan di pinggang, mendongak memandang Daidan yang memanjat pohon Afrin paling besar di halaman belakang Istana. Pohon yang terbiasa aku panjat di belakang istanaku. Sepertinya aku tahu dapat sifat ini dari siapa.

"Tidak akan, Kakak. Kalau aku jatuh, dengan sihir Angin atau sihir airmu, kau akan menyelamatkanku." Daidan menjawab sambil cekikikan. Bahkan ayahku juga sangat menyayanginya. Seperti kata Kakek, dialah yang mendatangkan tawa di keluarga kerajaan yang selalu serius ini. Dan sulit untuk aku akui, kenakalan Paman Daijilah yang turun padaku.

KISEKI ACADEMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang