38 - anxieties

971 160 19
                                    

"Ini untuk Jeno-hyung, ini untuk Jaemin-hyung, lalu ini untuk Haechan-hyung dan terakhir buat Chenle," gumam Jisung sembari membagi-bagikan makanan dari restoran tempatnya bekerja paruh waktu. Rice Bowl dengan berbagai varian rasa yang Jisung pesankan sesuai dengan selera keempat manusia tadi.

"Kebetulan sekali, aku belum makan apapun dari pagi," Chenle terlihat girang mendapat makanan gratis.

"Hehehe, aku mendapat bonus dari atasan jadi aku putuskan untuk mentraktir kalian," ucap Jisung tersenyum senang dengan respon antusias Chenle.

"Bagus, kerja yang rajin supaya bisa terus mendapat bonus dan mentraktir kami," sanggah Haechan dengan tidak tau dirinya.

Jaemin dan Jeno tidak banyak komentar. Mulut dan lidah mereka sudah disibukkan oleh makanan pemberian Jisung.

"Tsk, kalian kejam," gumam satu-satunya manusia yang tidak mendapatkan jatah dari Jisung. Siapa lagi kalau bukan Huang Renjun?

"Hehehe, justru Jisung baik karena tak membiarkanmu makan sembarangan. Sudah, habiskan sana buburmu. Nanti keburu dingin," sahut Jeno dengan santainya lalu kembali menikmati sesuap nasi dengan daging teriyakinya.

"Kasihan sekali Renjun kita, ckck" Haechan menggeleng-gelengkan kepalanya seolah bersimpati pada Renjun padahal sebenarnya ia sedang meledek sahabatnya.

"Begini saja, kau santap buburmu sembari menghirup aroma daging yang kami makan ini. Lumayan, kau bisa berkhayal seolah-olah kau sedang memakannya," kini Jaemin ikut menggoda Renjun.

Persahabatan mereka unik sekali, bukan?

"Tsk, aku akan meminta suster mengusir kalian. Lihat saja," ketus Renjun menyuap sesendok bubur ke mulutnya sendiri. Bubur itu terasa hambar di lidah Renjun. Soal cita rasa, kita memang tidak bisa berharap terlalu banyak pada makanan rumah sakit.

Para pemuda itu melanjutkan kegiatan makan mereka yang tentu diselingi obrolaj dan gurauan ringan. Hal ini sudah menjadi pemandangan Renjun beberapa hari ini semenjak dirinya dirawat. Kehadiran dan keberadaan kelima sahabatnya cukup berhasil membuat Renjun merasa tidak sendirian.

"HAHAHA, kau sudah kena omel oleh ayah Hina di pertemuan pertama kalian? HAHAHA," tawa Chenle saking bahagianya mendengar cerita Jaemin.

"Siap-siap tak direstui kalau begitu," tambah Jeno sama sekali tak berniat menghibur Jaemin.

Saking serunya mereka mengobrol, lima orang itu tidak menyadari Renjun yang terdiam dan hanya sesekali tertawa kecil merespon obrolan mereka. Dibandingkan ikut meramaikan suasana, Renjun sedari tadi hanya memandangi wajah parah sahabatnya secara bergantian satu-persatu. Menatao teduh wajah sumringah mereka yang sedang bersenda gurau. Menikmati suara tawa yang dulu terdengar menyakitkan telinganya tapi entah mengapa kini malah menjadi suara yang merdu bagi Renjun.

Senyuman dan tawa dari orang-orang yang begitu berharga baginya. Sungguh, ia ingin sekali menikmati saat-saat seperti ini terus menerus.

Dulu, moment seperti ini hanya Renjun lalui begitu saja. Topik tak begitu penting, cibiran ke satu sama lain, semua adalah hal biasa. Tak ada yang spesial. Tapi sekarang, rasanya semua hak tersebut kini jadi begitu berarti untuk Renjun.

Benar kata pepatah, sesuatu akan terasa amat berharga ketika kau mulai kehilangannya.

Ia tidak tahu sampai kapan bisa melihat semuanya ini dengan mata kepalanya sendiri. Ia tahu bahwa ia tidak akan rela melepas ini semua.

Tanpa terasa setetes air mata lolos dari mata Renjun. Untung ia segera menyadarinya sebelum salah satu dari kelima sahabatnya tadi bertanya-tanya akan apa yang membuat Renjun menitikkan air mata.

LET'S NOT FALL IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang