24. Bergosip🍂

2.2K 193 4
                                    

Kelopak mata Shamira terbuka. Pancaran matahari menembus jendela kaca menyinari seluruh wajah Shamira. Shamira menutup wajahnya. Kelopak matanya kembali menutup, rasa kantuk masih menderanya. Tiba saja ingatan tentang Davier semalam terlintas di benaknya. Bagaimana Davier mencengkram lengannya dan mengurungnya di kamar. Tapi tunggu, ia bangun matanya mengedar. Melihat kesegala arah. Ini kamarnya bukan kamar Davier. Itu artinya Davier yang memindahkannya ke sini?

Shamira bergerak tak nyaman. Masa-masa menstruasi adalah masa-masa terburuk. Ia melihat bercak darah di sprei. Ia menepuk keninganya pelan, rasanya ingin sekali ia berteriak sekarang. Walau di sini banyak maid tapi tetap saja soal seperti ini harus dirinya sendiri yang mengurus.

Ia mengusap-usap dadanya bersabar. "Sabar. Gue kayaknya harus mandi dulu deh hiks... kenapa pengen banget marah-marah sih gue." Shamira beranjak dari ranjang. Sedikit demi sedikit kakinya melangkah menuju kamar mandi.

OoO

Setelah mandi, Shamira langsung merapihkan tempat tidurnya. Melepaskan sprei yang terkena darah haid, kemudian menyiramnya mengunakan cairan pembersih noda. Saat sudah benar-benar noda darah itu hilang, ia memasukannya ke dalam ember. Biarkan nanti maid mengambilnya dan mencucinya.

Shamira keluar dari kamar mandi. Mengingat kembali saat ia bersama Anand. Berjalan-jalan tanpa mengenal waktu hingga akhirnya ia pulang larut malam. Ini bukan keinginan Anand, dia terus-terusan mendesak dirinya untuk pulang tapi shamira selalu menolak. Saat di mana Anand menyatakan perasaannya, sungguh ia sangat bahagia. Baru pertama kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini. Perlakuan buruk Davier terhadapnya pun hilang jika ia mengingat tentang Anand.

"Kenapa kamu senyum-senyum?" tanya seseorang di ambang pintu. Shamira menoleh takut. Dia Samudra, ia yakin kalau dia ke sini ingin merampas barang miliknya.

"Ya ... emang gak boleh senyum Bang?"

"Senyum kamu aneh. Abis mabuk cinta?" tanya Samudra tepat sasaran.

Shamira menggeleng kuat. "Enggak lah hehe."

"Pulang larut malam? Abang teleponin kamu gak angkat? Kamu itu perempuan Shami!" Samudra menghampiri Shamira.

Shamira menundukan kepalanya. "Ma--maaf."

"Masalah di sini sedang runyam dan kau ingin menambah masalah?"

"Maaf... Shami gak akan ngulangi lagi," cicit Shamira.

"Kak Vier menyuruhku untuk sedikit keras padamu. Kak Vier tidak ingin kau liar seperti Vana. Untung saja hanya tangan Shami... kalau kak Vier melukaimu lebih bagaimana?" Dada Samudra naik turun, dia sedang emosi. "Kak Vier itu tempramen, dia gak segan-segan ngelukai orang. Untung saja emosinya sedang stabil kalau tidak mungkin kamu sudah terluka parah."

"Aku minta maaf Bang. Abang pasti khawatir sama Shami...."

"Jelas."

"Abang mau ngunciin aku di kamar ini?" Samudra menggeleng. "Ngambil handphone?"

"Abang akan ngunciin kamu di kamar Abang. Handphone kamu Abang sita!"

"A-apa? Shami bisa mati kebosanan di kamar Abang!"

"Itu yang Abang mau. Kemari!"

Samudra menarik lengan Shamira menuju ke lantai 3. Ya kamar Samudra berada di lantai 3 berderetan dengan kamar Ray, Gadha dan Dion. Sesampainya di depan kamar Samudra, dia langsung memasukan Shamira ke dalam kamarnya lalu menguncinya dari luar.

"Di sini dulu ya Dek. Cuma sehari doang kok. Abang udah bilang sama Bunda kalau Abang ngurung kamu di sini. Nanti saat jam makan Ina nganterin makanan ke sini. Bye Shamira, Abang pergi dulu!" ucap Samudra setengah berteriak kamudian melenggang pergi.

"Abang! Kak Vier udah hukum Shami masa Abang hukum Shami lagi! Abang! Vhifi mau ke sini!" teriak Shamira. Percuma, sebanyak apa pun ia mengeluarkan suara Samudra tidak akan mendengar. Dia sudah pergi.

OoO

Di kurung di kamar Samudra sangatnya membosankan. Rasanya Shamira akan mati kebosanan berada di tempat seperti ini. Kosong, tidak ada apa pun. Tidak ada buku atau pun komputer yang bisa gunakan. Tak lama ia berdiam diri di kamar Samudra, seseorang datang membawa makanan. Kesempatan emas tidak boleh disia-siakan bukan?

Saat maid datang ke kamarnya. Shamira pura-pura tertidur, membungkus seluruh tubuhnya mengunakan selimut. Saat maid itu ingin membangunkan Shamira, Shamira lebih dulu bangun.

Shamira menatap wajah maid itu datar. "Ina cantik deh. Tadi Shami dapet telepon dari Bang Sam katanya Mira abis makan boleh keluar kamar," dusta Shamira.

Maid itu tersenyum lalu menggeleng. "Kata Tuan Sam, Nona Shami gak boleh keluar kamar sebelum Tuan Sam yang min--"

Bukannya mendengarkan ucapan maid itu sampai selesai, Shamira lebih dulu lari keluar dari kamar. Suara teriakan maid itu terdengar sangat jelas, memekakan telinga. Shamira berlari sekuat tenaga. Mencari tempat persembunyian yang aman. Sebenarnya bundanya sudah mewanti-wanti Shamira agar dia tidak membuat ulah di rumah utama tapi--semenjak Vana-sepupunya diperlakukan semena-mena oleh keluarga ini, ia jadi tak memedulikan image. Ia bahkan penasaran, sekejam apa keluarga ini? Ia ingin merasakan ada di posisi Vana.

Shamira mendengus pelan. Sudah berlari-lari ia belum juga menemukan tempat yang pas untuk bersembunyi. Bersyukurlah semua anggota keluarganya sibuk menjaga Shila. Ia jadi leluasa kabur-kaburan seperti ini.

"Kau melihat Nona Shami? Dia kabur dari kamar?" tanya seseorang maid, refleks Shamira bersembunyi.

"Entah. Aku tidak melihatnya."

"Haduh, bagaimana ini? Kalau tuan Sam tahu bisa marah. Apalagi kata tuan Sam dia disuruh sama tuan Davier!" Maid itu menjambak rambutnya frustasi.

"Aku suka nona Shami. Dia---seperti nona Vana. Saya merindukan teriakannya dan makiannya."

"Bodoh! nona Vana sudah diusir dari sini dan mungkin nona Shami akan terkena musibah. Kau tahu bagaimana kemarahan tuan Davier?" tanya maid kira-kira usianya 20 tahunan.

"Iya. Aku kadang kasihan pada nona Vana. Dia begitu sabar diperlakukan buruk, rasanya aku ingin menolongnya. Tapi---siapa aku? Hanya asisten rumah tangga."

Shamira mendengar gosipan para maid. Ternyata mereka juga menyampaikan pendapat mereka tentang keluarga ini. Perlahan ia memunculkan tubuhnya di balik tembok. Alahkah terkejutnya kedua maid itu saat melihat dirinya.

"No-nona Shami?!"

"Udahlah Shami capek main petak umpet. Sekarang mari kita bergosip!" seru Shamira. Kedua maid itu saling bertatapan bingung.

"Tapi Nona. Tuan Sam--"

"Udah. Dia pulang nanti sore. Kalau udah sore Shami masuk ke kamar. Pura-pura gabut mainin rambut," potong Shamira sambik terkekeh. "Ayo dong Ina. Gosip lagi! Seru tahu."

"Ma--maafkan kami Nona Shami. Kami janji kami gak akan membicarakan soal ini lagi di belakang," ucap salah satu maid itu sungguh-sungguh.

"Lah kenapa? Gak papa. Apalagi soal kak Vier... udah gak papa lanjutin aja. Mau tahu sesuatu gak?"

"A-apa Nona?"

Shamira menunjukan lengannya yang lebam. "Nih lebam sama tuan Davier Bhatia Cowdree. Hebat banget kan? Sekali genggam loh ini. Gimana kalo kita buat hadiah? Kayak piala gitu, buat nominasi anggota keluarga terkejam. Kok pada diem!"

Kedua maid itu diam menundukan kepala mereka.

"Yaudahlah. Shami ke loteng dulu ya? Nanti jam setengah empat aku kembali," ujar Shamira kemudian pergi meninggalkan maid itu.

"Nona Shami jadi kehilangan akal gara-gara semalam," bisik wanita berambut hitam bergelombang.

"Memangnya semalam kenapa?"

"Nona Shami pulang larut malam, terus tuan Davier langsung narik lengan nona ke kamar. Mungkin lebam itu disebabkan oleh tuan Davier."

"Kau sangat hebat dalam hal menguntit Arina."





ShanandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang