32. Cokelat🍂

2K 166 1
                                    

Hari-hari Shamira sekolah seperti biasa. Shamira tidak memberitahu Anand soal Davier yang mengancamnya beberapa hari yang lalu. Ia yakin kalau Davier hanya mengancamnya. Davier tidak akan macam-macam dengan situasi dan kondisi seperti ini. Setelah Vana meninggalkan negara ini, sikap Davier berubah menjadi pendiam.

Lagi pula ini hidupnya, untuk apa dia mengatur-ngatur? Toh yang berhak mengatur adalah ayah, bunda dan abangnya. Ibarat kata, Davier hanyalah orang asing dalam keluarga kecilnya.

Ucapan Davier beberapa hari lalu hanya menjadi angin lalu untuknya. Bukannya menjauh, Shamira malah semakin dekat dengan Anand. Menantang? Ya, ini sangat-sangat menantang. Kali ini, untuk sekali saja ia bersikap egois.

Hari ini Shamira sedang menyaksikan classmeeting. Setiap akhir semester, sekolah ini selalu mengadakan classmeeting. Mempertandingkan beberapa cabang olahraga antar kelas. Biasanya, hal seperti ini biasa diungguli oleh kelas IPS. Tapi entah tahun ini, mungkin kelas IPA yang akan mengungguli karena kelasnya sudah mempersiapkan semuanya. Yang dibutuhkan di sini adalah kerja sama antar anggota bukan kecerdasan otak.

Setelah pertandingan bola basket putra, kini beralih ke pertandingan bola basket putri. Hampir semua kursi penonton sudah terisi penuh. Shamira, untuk pertama kalinya ia ikut bermain. Kaos lengan pendek berwarna hitam serta baju basket berwarna biru tua dan putih khas baju tim kelas XI MIPA A1 sudah menempel di tubuh Shamira.

Pertandingan pun dimulai. Kelas Shamira melawan kelas XI IIS A2. Sedari tadi Vhifi mengigit bawahnya ketakutan. Sang juara basket putri, 2 tahun berturut-turut melawan kelas yang awam akan dunia olahraga. Ia merasa para OSIS ingin mempermalukan kelasnya. Suara peluit dibunyikan dengan sangat keras, Shamira mengambil alih bolanya. Mengopernya ke salah satu timnya lalu dia melemparnya ke dalam ring dan---meleset! Bola kini berada di tim lawan. Shamira menghela nafasnya kasar, menatap ke arah kursi penonton. Di sana ada Anand, dia tersenyum sambil bertepuk tangan. Dari jauh, Anand memberi kode melalu gerakan mulutnya seperti mengatakan 'semangat Shamira!'.

Shamira tersenyum lebar setelah itu kembali mengejar bolanya. Melihat Anand tersenyum membuat rasa semangatnya bertambah menjadi berkali-kali lipat.

Berkali-kali tim lawan mencetak skor sedangkan tim Shamira masih mengejar ketertinggalannya. Suara tepuk tangan bergemuruh ketika Shamira berhasil memasukan bola ke dalam ring. Tak puas dengan itu, Shamira masih menembak bolanya berkali-kali ke dalam ring. Shamira merasa kalau sebenarnya timnya juga mempunyai bakat dalam bermain basket hanya saja, mereka tidak terlalu fokus dalam dunia olahraga. Vhifi, dia sibuk mengarahkan dan mengatur stratrgi. Beruntung, Vhifi bisa menggeser orang dan masuk ke dalam kelas unggulan. Tanpa dia mungkin kelasnya kembali akan dipermalukan. Contoh saja seperti tahun lalu, kelasnya mendapatkan skor 0 jauh sekalu dengan tim lawan.

Peluit dari wasit kembali tertiup tanda permainan telah usai. Kemenangan untuk kelas Shamira. Suara tepuk tangan menggema di lapangan indoor. Shamira dan Vhifi bertos ria. Kemenangan pertama untuk kelas yang membosankan. Kali ini, Shamira bisa membuktikan kalau kelas unggulan tidak selalu berdiri di akademik melainkan bisa berdiri di segala bidang. Shamira dan Vhifi meloncat-loncat kesenangan. Semua tim bersalaman, saling memberi ucapan selamat dan terima kasih.

"Vhi, kita menang?" tanya Shamira masih tak percaya.

Vhifi tertawa keras. "Kayak mimpi ya hahaha. Kelas kita yang ngebosenin bisa menang basket!"

"Serius gue kok seneng banget."

"Ayo kita nyombongin diri ke tim cowok. Awas aja kalau mereka kalah," ajak Vhifi menarik lengan Shamira menuju perkumpulan tim basket kelasnya.

Dari jauh Shamira bisa melihat Apriyan sedang bertos ria bersama tim basket putri. Setelah semua anggota diberi ucapan selamat, tatapannya beralih pada Vhifi dan Shamira.

"Mantap kapten! Keren banget lo, dua jari buat lo," puji Aprian menunjukan kedua ibu jarinya pada Shamira.

"Gue enggak?" tanya Vhifi. Apriyan tersenyum, memberikan dua jari tengahnya untuk Vhifi.

"Gimana? Fuck!"

"Dasar! Awas aja ya lo kalau gak menang!" ancam Vhifi sambil menunjuk Apriyan.

"Menanglah kan sekarang ada Anand! Dulu dia susah banget diajakinnya, sekarang aja." Apriyan melirik Anand, dia sedang menatap Shamira sambil tersenyum. "Anjir ngebucin!"

"Mulut lo Yan!" gemas Shamira.

"Ya maaf," balas Apriyan sambil cengegesan.

"Pergi sana kalian berdua," usir Shamira.

"Ck, mau ngebucin," cibir Apriyan.

"Sham, ini sekolah," bisik Vhifi memperingatkan.

"Tenang aja lagi rame. Gak bakal ada yang tahu," kata Shamira.

"Ye! Jangan lama-lama ngebucinnya! Bentar lagi mulai!" Peringat Apriyan.

***

Shamira dan Anand masuk ke dalam kelas. Di dalam kelas hanya ada Shila yang sedang tertidur. Ia membuka laptopnya, berpura-pura mengerjakan sesuatu agar ada alasan kenapa ia dan Anand dekat.

"Shami, selamat ya. Berkat lo kelas ini jadi menang," ucap Anand setengah berbisik. Shamira tersenyum, menatap Anand.

"Makasih Nand. Semangat, semoga tim kita menang lagi," balas Shamira sambil menggenggam tangan Anand. Tangan mereka terhalang oleh laptop, jadi tidak akan ada yang menduka kalau mereka sedang bergenggaman tangan. Anand tersenyum, menindih punggung tangan Shamira dengan tangannya lagi.

"Kapan ya Sham kita gak sembunyi-sembunyi lagi. Rasanya, gue pengen banget peluk lo sekarang." Anand menghembuskan nafasnya panjang. "Tapi gue bersyukur bisa kayak gini. Bisa liat lo tersenyum, rasanya gue seneng. Hari-hari gue tanpa suara bising lo itu gak lengkap."

Shamira diam, mencerna ucapan Anand.

"Harusnya gue tahu diri. Lo dan gue itu jauuuh banget. Kalau diibaratkan lo itu permata dan gue batu krikil, lo itu langit dan gue bumi, lo itu putri raja dan gue pelayan. Gak akan pernah nyatu... itu takdir, tapi boleh gak si Sham, boleh gak si gue egois?"

Shamira tersenyum tipis. "Kita itu sama. Gue bumi dan lo juga bumi. Gue langit dan lo juga langit. Gue permata dan lo juga permata. Gue putri dan lo pangeran. Sama dan sebanding," ucap Shamira.

"Itu menurut pendapat lo Sham. Bukan untuk gue dan orang-orang."

Shamira melepaskan tangannya dari genggaman tangan Anand. "Oke cukup! Lo mau tanding jadi lo harus semangat! Gue yakin banget kalau keluarga gue bakal nerima ini. Lo tahu Vana kan? Dia bisa tuh sama Edgarka. Padahal dia anak dari Tuan Devano." Shamira tertawa pelan. "Gak mungkin dong. Kalau gue anak dari Tuan Darren dan Nyonya Raira yang baiknya kebangetan larang anaknya pacaran sama lo. Lo itu mandiri, hebat, pinter, baik, cakep... idaman kan?"

"Edgarka itu beda."

"Apa? Beda gimana coba? Dia anak dari musuh keluarga gue loh. Dan sekarang dengan pengorbanannya akhirnya Vana diizinin tuh pacaran sama Edgarka walau---LDR sih. Lebih berat dan menantang kan? Coba lo belajar dari dia."

Anand tersenyum tipis, dia mengambil sesuatu di saku jaketnya. Anand mengeluarkan sebuah cokelat berpita merah dengan secarik paper note di samping pita itu dan memberikannya pada Shamira.

"Hadiah dari gue karena lo udah menang."

"Huh? Lo seyakin itu kalau gue menang?"

"Mau lo menang atau kalah. Lo tetap menang dalam hati gue."

ShanandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang