36. Kesempatan🍂

3.1K 222 9
                                    

Berhari-hari orang suruhan Devano mengamati kegiatan Anand dari jauh. Setiap hari dia--orang suruhannya selalu memberikan info pada Devano. Devano melakukan hal ini untuk mengantisipasi, jika sewaktu-waktu Anand akan membuat hal nekat. Tapi tidak, Anand tidak melakukan apapun. Dia hanya memandang Shamira dari jauh dengan tatapan pasrah. Kadang, Anand suka menyimpan makanan di kolong meja Shamira. Bukan hanya itu, Anand juga diam-diam menolong Shamira. Contoh saja ketika hujan, Shamira tidak membawa payung dan Anand menyuruh seorang anak kecil memberikan payung satu-satunya untuk Shamira. Saat itu, Anand memilih untuk hujan-hujanan demi Shamira.

Anak itu tidak berani macam-macam karena mungkin dia sadar akan posisinya sekarang. Dari pantauannya selama sebulan penuh, ia rasa kalau anak itu baik. Dia tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh.

"Berikan nomor anak itu segera," perintah Devano pada orang suruhannya.

Biru--orang suruhan Devano mengangguk. Menyerahkan berkas berisi nomor Anand pada Devano. Dia Biru, umurnya masih 17 tahun. Dia sangat pintar sekali memata-matai orang. Bukan hanya mematai orang, dia juga seorang hacker handal. Memang tidak masuk akal tapi inilah nyatanya. Sedari dulu, Biru bekerja sama dengan Devano.

Biru memiliki bola mata cokelat terang, rambutnya hitam, kulitnya putih pucat serta alis mata berwarna hitam lebat. Di sekolah dia sangat tertutup. Setiap hari dia memakai hoodie, entah itu di kelas, di area sekolah atau di mana pun itu. Jika ada orang yang menanyakan alasannya maka Biru akan menjawab kalau dirinya iritasi dengan udara dan cahaya matahari. Sekolah itu

"Saya pergi dulu. Kalau anda membutuhkan sesuatu, hubungi saya," pamit Biru menundukan kepalanya.

Devano mengangguk. "Terima kasih Biru. Saya berharap, kita bisa terus bekerja sama."

"Ya, pasti." Biru pergi meninggalkan ruang Devano.

Devano menatap berkas berisi biodata Anand. "Seberapa besar nyali boncah kencur itu."

***

Shamira mendengus kesal mendapati pesan dari Devano yang menyuruhnya untuk pergi ke rumah utama. Shamira melempar handphonenya ke kasur, merebahkan tubuhnya sejenak. Hari-hari tanpa suara Anand, genggaman tangan Anand, senyuman Anand, dan nasihat Adnan, semuanya--terasa hampa dan menyakitkan. Ia sempat berpikir, apakah Anand benar-benar mencintainya? Kalau iya, kenapa bisa Anand melupakannya secepat itu? Ia melihat Anand hidup seperti biasa. Ya, biasa, sebelum Shamira mengenal Anand. Begitu pun Anand yang tidak mengenal Shamira.

Pintu kamar Shamira terbuka. Mendengar itu, Shamira refleks terbangun. Ia melihat Samudra sedang menaik turunkan alisnya. Shamira berdecak pelan, memutar bola matanya malas lalu merebahkan tubuhnya kembali.

Samudra masuk ke dalam kamar Shamira, ia mendudukkan bokongnya di tepi kasur. "Marahnya sampe sekarang?"

Shamira berbalik badan, membelakangi tubuh Samudra. "Kenapa?"

"Jawab Abang Shamira."

"Tanya aja ke diri sendiri," balas Shamira cuek, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.

"Sorry Sham."

Shamira diam, masih kesal.

"Sham? Gak capek ya, marah terus?"

"Gak tau."

"Shamira, Daddy mengundangmu makan malam."

"Gak mau."

"Ini daddy loh yang nyuruh."

"Ya terus?"

"Cepet siap-siap!"

"Badan Shamira gak enak."

"Oh... lagi gak sehat?"

"Iya."

ShanandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang