31. Take Away🍂

2K 161 1
                                    

Shamira turun di depan gerbang rumahnya. Ia menatap kepergian mobil Anand sambil melambaikan tangannya. Setelah mobil Anand menghilang dari pandangannya, barulah ia masuk ke dalam rumah. Ia melirik sekilas arlojinya. Hembusan nafas kasar lolos begitu saja. Untung saja belum melewati jam 6, kalau saja sampai lewat bahkan semenit saja, jangan harap semuanya akan baik-baik saja.

Sepi, seperti tak berpenghuni. Shamira menengok ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang, mencari-cari anggota keluarganya. Ia merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Menggerak-gerakan kaki yang terasa kaku.

"Sudah pulang?" tanya seseorang membuat Shamira refleks bangkit dari posisi tidurnya. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang, bibirnya mengantup, tak bisa digerakan.

"Ka-Kak Vier? Kok Kakak ada di sini? Va-Vana kan ada di rumah Kak."

Ya, orang itu adalah Davier-kakak sepupunya. Entah ada urusan apa sampai-sampai dia datang ke sini. Ia bingung, padahal Davier sangat jarang berkunjung ke rumahnya. Davier menaikan sebelah alisnya, mendudukan bokongnya di sofa.

"Duduklah Shami."

Shamira duduk di samping Davier. "Hm... Bunda sama Bang Sam ke mana ya?"

"Mereka menemani Vana terapi."

"Kakak tidak ikut menemani?"

Davier menggeleng. "Tidak. Sebentar lagi kaki Vana akan segera sembuh, itu artinya dia akan pergi--- apa saya lumpuhkan saja kaki dia lagi?"

Shamira menatap sang kakak datar. Aura dan ketegasan dalam setiap kata-kata Davier masih terkesan seram dan penuh dengan teka-teki. "Kalau Kakak sakitin Vana lagi, Vana akan membenci kakak."

"Saya sudah berspekulasi seperti itu sejak pemikiran itu muncul di benak saya. Dan-- saya ke sini, ingin menunjukan sesuatu," tutur Davier sambil melemparkan beberapa foto ke atas meja.

Mata Shamira sontak membulat, ia menelan saliva kasarnya. Tangannya terulur, mengambil salah satu foto yang di lempar Davier tadi. Semua foto-foto ini adalah foto dirinya bersama Anand. Bagaimana bisa Davier tahu. Walau semua foto-foto ini tidak terlalu terbuka tapi tetap saja, jika keluarganya sampai melihat bisa bahaya. Shamira sedikit mendongkak, menatap Davier.

"Bisa kau jelaskan Shamira? Semua foto-foto itu?"

Shamira mengigit bibir bawahnya pelan. "Dia hanya kameramen Shami Kak. Kami dekat hanya karena urusan sekolah dan pekerjaan."

"Okay. Kalau kamu tidak ada hubungan apa pun," ujar Davier mengangguk-anggukan kepalanya.

Shamira menahan nafasnya, menunggu Davier melanjutkan kalimatnya.

"Pecat lelaki itu dan Kakak akan mencari pengganti dia, jauh lebih bagus dan profesional," sambung Davier, menekankan kata 'profesional'.

Shamira menggeleng cepat. "Jangan Kak!"

"Kenapa? Kau menyukai dia? Bukankah kamu bilang dia hanya sekadar bawahanmu?" Davier mengambil sebuah foto seorang pria menggengam tangan Shamira. "Wah, bawahanmu sangat lancang Shamira. Dia berani menggenggam tanganmu."

"Kak?"

"Lihat ini juga Shami." Davier kembali mengambil foto Anand menyuapi Shamira. Davier menyeringai. "Memangnya dia siapa---"

"Kak, ini hanya konten. Kami semua bersenang-senang dalam konten itu. Lagi pula, di sebelahnya ada Vhifi."

Davier mencengkram rahang Shamira. "Lancang sekali kau Shamira. Dengar saya baik-baik, saya memang sudah berubah. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya memotong ucapan saya apalagi berteriak di depan saya. Ada tiga pilihan untuk kamu Shamira."

Shamira menutup kedua matanya, air matanya sudah luruh membasahi pipinya.

"Memecat dan jauhi pria itu, membiarkan saya memberitahu semua anggota keluarga---atau, akun youtube kamu Kakak hapus!" Davier melepaskan cengkramannya.

"Kakak harus percaya. Dia hanya kameramen dan editorku, tolong... percaya. Aku mengangkatnya jadi kameramen karena aku ingin membantu dia... aku mohon."

"Kakak hanya memberikan tiga pilihan itu Shami," ujar Davier lirih.

"Kenapa Kakak selalu mencampuri urusanku? Orang tuaku saja tidak seperti ini."

Davier diam sejenak. "Kakak seperti ini karena Kakak sayang sama kamu."

"Shami gak peduli apa yang akan Kakak lakukan. Shami udah kecewa sama Kakak setelah kejadian naas Vana."

"Baiklah jika itu maumu. Saya hanya memperingatkanmu, jangan sampai kejadian bunda kembali terulang." Davier tersenyum kecut. "Ayo kita ke rumah utama. Vana ingin bertemu denganmu."

***

Shamira mengigit bibir bawahnya. Memeluk bantal guling, sesekali menekan-nekan dadanya. Sesak, sangat sesak sekali. Baru saja ia menemukan kebahagiaan tapi, Davier ingin merampas kebahagiaan itu. Sedari tadi matanya tak berhenti-berhenti mengeluarkan air mata.

Ternyata, selama ini ia diawasi. Ia pikir disaat-saat seperti ini, mereka akan sibuk pada Vana tapi ternyata salah. Bahkan Davier ingin merantainya sekarang. Ruang kebebasannya akan semakin dipersempit. Kalau saja Anand tahu kejadian ini mungkin dia akan menjauhinya. Tidak, Anand tidak boleh tahu soal ini.

Shamira mengambil handphonenya. Mencari-cari nama kontak Anand lalu meneleponnya. Ia mengembuskan nafasnya panjang, menetralkan nafasnya kembali. Tangannya terulur, mengusap air mata di pipinya.

"Halo Sham? Kenapa pesan gue gak dibales. Lo kenapa?"

"Gue kangen....," lirih Shamira.

Anand tertawa pelan. "Lebay banget lo! Baru juga tadi ketemu masa udah kangen."

"Anand... gue--- gue cinta sama lo."

"Iya gue juga.... Belum tidur? Udah malem, tidur sana."

"Gue masi mau denger suara lo Nand."

"Besok kan ketemu," balas Anand.

"Nyanyiin gue Nand, sampe gue tidur."

Di sisi lain Anand sedang berada di dalam kamarnya. Berteleponan dengan Shamira. Dari suaranya, ia bisa menebak kalau Shamira habis menangis. Ia khawatir dengan keadaan Shamira.

Sesuai permintaan Shamira, Anand mengambil gitar dan mulai menyanyi. Lagu Perfect-Ed Sheeran mengalun merdu. Anand sangat menghayati dalam bernyanyi sampai-sampai suara Shamira tak terdengar lagi. Di tengah-tengah lirik, Anand menghentikan petikannya berniat untuk mengakhiri lagu namun suara Shamira kembali terdengar.

"Gue belum tidur," ucap Shamira lirih.

Anand tersenyum tipis. Ia kembali melanjutkan lirik lagunya.

"We are still kids, but we're so in love
Fightin' against all odds
I know we'll be alright this time
Darling, just hold my hand
Be my girl, I'll be your man
I see my future in your eyes

Baby, I'm dancing in the dark, with you between my arms
Barefoot on the grass, listenin' to our favorite song
When I saw you in that dress, looking so beautiful
I don't deserve this, darling, you look perfect tonight"

Anand menghentikan petikan gitarnya lalu tersenyum. Suara dengkuran halus terdengar lembut di telinga Anand. Shamira sudah tertidur. Rasanya ia ingin segera hari esok, bertemu dengan Shamira kembali. Melihat senyumannya, suara tertawanya, wajahnya yang begitu mempesona. Semoga, ia tetap bisa merasakan kebahagiaan ini. Belum pernah ia menemukan beberapa kebahagiaan dalam satu waktu seperti ini. Alexsa dinyatakan sembuh, panti ini terus-terusan dialiri keberkahan dengan datangnya para donatur, ia mendapatkan pekerjaan dari Shamira dan---menjadi kekasih Shamira. Ia berharap, semoga tidak ada yang merampas kebahagiaannya.

"Good night babe, sweet dreams."






ShanandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang