01. SMA Harmoni.

518 62 44
                                    

Seringkali, sebuah pertemuan dianggap kebetulan.

Padahal, semua itu adalah bagian dari takdir.


-

Suara tangis yang tertahan hanya bisa didengar oleh angin. Cahaya sang bulan mendukungnya untuk menangis. Lelaki yang masih berusia 14 tahun itu menatap kosong ke lantai balkon kamarnya. Ia menoleh, pintu kamar tertutup.

Lelaki tersebut mengeluarkan sebuah pisau dari saku belakang seragam SMP-nya. Ia menatap tajam pisau itu lalu menggoreskannya secara perlahan ke pergelangan tangan kanannya. Darah segar mulai mengalir dan menetes ke lantai.

"Sagara!" teriak seorang wanita.

Wanita tersebut berlari menuju lelaki yang kini terkulai lemas itu. "Sagara, bangun! Sagara!" pekiknya sembari mengelus dan menepuk pelan pipi sang putra.

Lelaki itu, Sagara Balakosa, matanya tertutup rapat. Tubuhnya terasa dingin dan bibirnya pun pucat pasi.

"Zen! Zen!" pekik wanita tadi memanggil kakak laki-laki Sagara.

Seorang lelaki berkacamata berlari menghampiri Sagara dan mamanya. "Sagara kenapa, Ma?!" tanyanya ikut panik.

"Sudah! Cepat bawa dia ke rumah sakit!" titah wanita yang dipanggil mama itu.

Zen mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Seri Aderald—wanita paruh baya yang dipanggil mama, terus memanggil nama Sagara di kursi belakang. Seri menangis sambil memangku kepala sang putra. Hatinya bergetar, tangisnya tidak lagi tertahan.

Setelah hampir 30 menit, akhirnya mereka sampai di Rumah Sakit Louisy. Dengan sigap, petugas rumah sakit membawa Sagara. Roda-roda kasur rumah sakit menambah aura mencekam. Suaranya menggema, memasuki telinga Seri dan juga Zen.

Seri panik, begitu pula dengan Zen Aderald—kakak laki-laki Sagara. Zen berusaha menenangkan Seri. "Sagara pasti baik-baik saja, Ma," ujar Zen sambil mengelus bahu Seri perlahan.

"Sagara ...," panggilnya lirih.

"Sudah, Ma," kata Zen menenangkan.

Kini, Seri menatap sendu anak laki-lakinya yang terbaring lemas di atas kasur rumah sakit. Dokter sudah selesai memeriksa Sagara, hal tersebut membuat Seri langsung bangkit dari duduknya.

"Gimana anak saya, Dok?" tanya Seri panik.

"Penyakit yang dideritanya masih seperti dulu, bahkan bisa dikatakan semakin parah. Saya tidak dapat memastikan bagaimana keadaan anak Ibu untuk kedepannya. Jika ada keluhan lagi, Ibu bisa langsung ke mari." Seri mengangguk paham mendengar penjelasan dari Dokter itu.

"Saya permisi," ujar Dokter tersebut dan berlalu meninggalkan Seri bersama Zen dan juga Sagara.

"Dia nggak boleh tahu tentang ini," kata Seri dengan nada yang sedikit bergetar. Ia mengenggam kedua tangannya lalu mendekatkan ke mulut. Seri berupaya untuk menghentikan getaran itu.

....

Sagara dirawat di rumah sakit selama 2 hari. Kini, lelaki itu sudah terlihat baik-baik saja. Tetapi, ia enggan berbicara dengan siapapun.

Sagara menatap gedung-gedung tinggi dari balik jendelanya. Setelahnya, ia berjalan ke luar meninggalkan kamar rawatnya. Sagara melangkah seperti orang biasa, bahkan ia tidak terlihat sakit sedikit pun.

Kini, lelaki itu sudah berada di rooftop rumah sakit. Ia merasakan angin membelai wajahnya. Ia menatap ke bawah, dan melihat kendaraan berlalu-lalang. Sagara takut ketinggian. Kepalanya sedikit pusing, lalu kakinya ikut bergetar.

Sweet Dreams, Darling. [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang