Jadilah lilinku, lilin kecilku.
Cahayanya tidak begitu terang, namun tidak pernah padam.-
"Nar?" panggil Sagara.
"Apa?"
"Lo harus terbiasa bicara sama gue pakai aku-kamu."
Binar tersentak, jantungnya menjadi berdetak lebih cepat dengan sendirinya. Binar berusaha tenang dan membuat dirinya paham dengan maksud Sagara. "Oh? I-iya, gue bakal biasain manggil pakai kata kamu," balas Binar sambil tersenyum kikuk.
Sagara mengangguk. Hening dan canggung menyelimuti keduanya. Sagara menoleh ke arah Binar, namun ragu untuk bercerita kepada gadis itu.
"Nar?" panggil Sagara memberanikan diri.
"Iya, Gar?"
"Aku mau cerita, ini tentang dua tahun yang lalu." Sagara menatap kosong gedung-gedung di hadapannya.
Binar mengerutkan keningnya. "Cerita apa, Gar? Cerita aja, sans sama gue." Binar pergertian.
Sagara terkekeh. "Aku dan kamu," katanya.
Binar malah terbahak mendengar perkataan Sagara. "Oke-oke, kamu mau cerita apa?" tanya Binar setelah puas tertawa.
"Dua tahu lalu, aku ingin mengakhiri hidup, Nar." Sagara menoleh menatap Binar yang kini dengan mimik wajah terkejut.
"Hah?! Kok gitu?!" seru Binar terkejut. Binar, memang susah untuk menjadi gadis yang pendiam
"Santai dong, ini juga masih hidup," balas Sagara lalu terkekeh.
"Udah-udah, lanjutin ceritanya," pinta Binar yang semakin penasaran.
"Saat kelas tiga SMP, aku mau mengakhiri semuanya. Capek, Nar. Nggak sanggup banget rasanya buat hidup, apalagi waktu yang aku habisin itu lebih banyak di rumah. Aku ngerasa tertekan, frustasi dan bingung. Saat itu, aku tidak punya tempat bercerita. Tidak Mama, ataupun Bang Zen." Sagara menoleh sebentar ke arah Binar yang menyimak dengan betul cerita darinya. Sagara tersenyum tipis.
"Dan pas kelas tiga SMP itu, aku masuk rumah sakit. Nggak tahu kenapa. Mama, sepertinya dia tidak peduli. Saat aku mau bangun, saat aku mau tidur, Mama nggak ada. Cuma Bi Nian yang nemenin aku di rumah sakit. Bang Zen, sibuk kuliah. Mama entah di mana, aku nggak tahu. Hidupku saat itu benar-benar hitam, Nar. Aku nggak lihat apa-apa selain warna hitam. Dari sana, aku semakin yakin, selama ini aku hanya hidup sendiri. Bernapas untuk diriku sendiri dan hanya aku yang sayang diriku." Sagara kembali menoleh ke arah Binar yang sedang menghapus air matanya sambil sesegukan. Sagara terkekeh.
Binar mendongak karena mendengar kekehan Sagara. "Kamu kenapa ketawa?!" protes Binar dengan wajah kesal.
"Ngapain nangis?" tanya Sagara sambil tersenyum.
"Kan sedih, ih!" ujar Binar menggerutu.
"Mau dilanjutin nggak? Itu masih pembukaan," kata Sagara.
"Lanjutin." Binar masih sibuk menghapus air matanya.
"Ya, jangan nangis makanya," balas Sagara lalu kembali terkekeh.
"Ya, bodo!" Sagara tertawa. Binar memang terlihat natural.
"Siang itu, tepat saat matahari berada di arah angka dua jarum jam. Aku berdiri di atas rooftop rumah sakit. Saat itu, aku hanya ingat satu wajah, Nar. Wajah Mama." Sagara menunduk, dadanya terasa seperti ditekan dan napasnya menjadi sedikit sesak.
"Aku di sana berteriak sekencang-kencangnya. Aku mulai menghitung. Aku menutup mataku, mulai menghitung dan berharap angka seratus hilang dari muka bumi ini. Aku berdoa sambil menghitung tidak ada suara yang kudengar selain suara detak jantungku yang menggebu dan suara terpaan angin di telingaku, Nar." Sagara menarik napasnya panjang lalu mengembuskannya dengan gusar. Tampak seperti orang yang kehilangan semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Dreams, Darling. [selesai]
Teen FictionJudul sebelumnya, the violinist: sagara Gadis kecil dengan jepitan rambut bunga matahari yang ditemuinya di atap rumah sakit, selalu membayangi Sagara. Pengaruhnya sangat besar bagi hidup Sagara. Dan biola, hanya alunannya yang membuat Sagara tetap...