03. the violinist.

248 42 27
                                    


JANGAN LUPA PUTAR VIDEO ABANG ALAN GANTENG YANG SUDAH AKU SIAPIN BUAT KALIAN(づ ̄ ³ ̄)づ

.
.
.
.
.

Jadilah dirimu sendiri. Kamu lebih cantik dengan begitu.

-

Sagara masih memperhatikan seorang gadis yang dengan lihai menggiring bola. Sama seperti pagi kemarin, bedanya, saat ini gadis itu bermain futsal dengan beberapa anak laki-laki. Sagara memperhatikan gadis itu dengan lekat dari lantai dua gedung sekolahnya. Sagara memang sering berangkat pagi.

"Gar?" panggil Agam dari arah belakangnya.

"Hem?" Sagara membalas sapaan Agam dengan deheman tanpa menoleh ke arah sumber suara.

"Udah jadi agenda rutin lo berdiri di sini?" tanya Agam lalu berdiri di sebelah Sagara.

"Sepupu lo beda, ya," ujar Sagara.

"Maksud lo ... Binar?" tanya Agam memastikan. Agam ikut melirik ke arah pandangan Sagara yang tertuju kepada Binar. Gadis itu kini menguncir kuda rambut pirangnya. Keringat tampak bercucuran di pelipis gadis tersebut. Sesekali, ia menyeka keringatnya dengan tangan mungil itu.

"Beda, maksud lo?" tanya Agam.

"Dia beda, sih, menurut gue. Biasanya cewek ogah main futsal yang berkeringat gitu. Ini dia beda. Kemarin main basket, sekarang main futsal." Sagara melirik sebentar ke arah Agam.

"Trus, lo suka?" ledek Agam.

"Nggak. Dan nggak akan gue suka sama cewek." Sagara menatap wajah Agam dengan lekat lalu kembali memalingkan wajahnya sendiri.

"Jangan batu, Gar."

"Kalau pun gue suka, gue nggak bakal seriusin, Gam. Lo paham itu. Hidup gue rumit, gue nggak mau bikin makin rumit." Agam diam mendengarkan Sagara. "Gue belum nemuin orang yang tulus. Mata yang tulus dan rasa yang tulus. Semua mata mereka sama," ujar Sagara lalu menunduk pelan. Sagara tertawa hambar.

"Belum nemuin, bukan berarti nggak bakal nemuin, Gar." Volume suara Agam mulai berkurang. Ia mengelus pundak Sagara dengan pelan.

"Nggak bisa, Gam."

"Apa yang nggak bisa? Kadang, Gar, seseorang menutup rapat hatinya karena sebuah persoalan yang meninggalkan luka yang membekas. Orang itu enggan untuk membuka kembali hatinya tersebut saat seseorang mengetuknya, padahal yang mengetuk hatinya itu adalah seseorang yang membawakan obat," ujar Agam.

Sagara paham arti dari perkataan yang dikatakan oleh Agam. "Luka yang membekas." Sagara mengerti.

Flashback on.

Sagara turun dari mobilnya. Badannya letih karena baru saja pulang dari latihan futsal. Jalannya sempoyongan karena menahan pusing. Usianya masih 14 tahun. Sagara memang sangat menyukai futsal semenjak ia masih kecil. Lelaki itu juga sering bermain futsal bersama kakaknya—Zen Aderald.

Sagara membuka pintu utama dengan pelan. Tenaganya terkuras habis dan bibirnya pucat pasi.

"Ma?" panggilnya dengan suara serak. Bukan mamanya yang terlihat, melainkan Bi Nian.

"Astaga, Den Gara!" pekik Bi Nian.

"Mama mana, Bi?" tanya Sagara.

"Ibu lagi di kamar, Den. Sama Bibi aja, ya?" ajak Bi Nian dengan lembut. Sagara menepis tangan Bi Nian yang hendak memapahnya.

Sweet Dreams, Darling. [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang