Aku tidak pernah meminta kamu untuk datang.
Jadi, jangan bertingkah seenak jidad, bisa?-
Sagara memarkirkan motornya di garasi. Sagara meletakkan helm, lalu berjalan santai memasuki rumahnya. Ia membuka pintu besar itu dengan ragu. Langkahnya pelan memasuki rumah besar tersebut. Ia menoleh ke sekitar, seperti biasa, sepi. Seperti rumah tidak bertuan.
Sagara menaiki anak tangga dengan cepat. Langkah kakinya bergema. Langkah itu melambat setelah ia mendengar suara yang memanggil namanya.
"Sagara!" teriak mamanya. Sagara tidak menoleh. Ia hanya diam di tempatnya. Enggan untuk menatap wajah wanita paruh baya itu, Sagara memilih melanjutkan langkahnya.
"Sagara! Kamu tidak dengar Mama memanggil kamu?!" teriak wanita itu lagi. Sagara terus melangkah, tidak berhenti. Sampai ia berdiri di depan pintu kamarnya. Menunggu, ocehan apalagi yang akan ke luar dari mulut mamanya itu.
"Sagara! Lihat Mama!" seru Seri tidak sabaran yang masih berada di lantai bawah. Ia menengadah melihat Sagara.
"Kamu dari mana saja? Jam segini baru pulang?!"
Sagara membuka knop pintu perlahan. Sudut matanya mengintip ekspresi dari wanita itu. Marah, bercampur khawatir. Namun, marah mendominasi.
"Sampai kapan kamu tidak mendengarkan Mama?!" teriaknya lagi. Sagara mengembuskan napas gusar. Ia menoleh ke arah mamanya. Ia menatap kedua manik mata itu sebelum mamanya beralih membuang pandangan.
"Peduli?" tanya Sagara dengan wajah datarnya. Ia menaikkan satu alisnya menambah kesan tidak suka. Seri diam, ia tidak kembali menatap Sagara. Ia masih membuang muka.
"Kalau nggak peduli, nggak usah sok peduli." Sagara masuk ke kamarnya dan menutup pintu itu dengan keras setelahnya.
Sagara melempar asal tas hitam yang sedari tadi berada di pundaknya. Ia berjalan menuju balkon, menatap langit yang ikut sendu bersama hatinya. Sagara tertawa sendiri. "Kalau gue udah mati sejak dua tahun yang lalu, gue mungkin udah di sana sekarang," ujarnya sambil menatap langit yang mulai gelap.
"Gue nggak minta untuk hidup. Gue nggak minta bahagia. Gue nggak pernah minta terlahir." Lelaki itu kembali tertawa. Menertawakan dirinya sendiri.
Sagara POV.
Hatiku membeku. Mataku tertutup dan jantungku berdetak tak bersuara. Napasku, ia masih di sana.
Aku sudah tidak bisa melihat warna. Aku sudah tidak bisa kembali ke atas permukaan, aku masih di sini, di dasar laut yang gelap.
Aku takut dengan laut. Aku takut dengan warna gelapnya. Namun aku terperangkap, tidak bisa ke luar. Ketakutan memelukku, ia membelenggu dengan erat, tidak memberiku tenang.
Tidak ada yang melihatku. Tidak ada di antara mereka yang mengetahui di mana aku sesungguhnya. Aku terkapar, di dasarnya.
Tuhan, jika boleh, aku ingin ke luar dari sini. Atau, aku mati saja.
Sagara membiarkan angin dingin membekukan air mata yang membasahi pipinya. Ia tersenyum, namun tidak dengan hatinya. Ia tidak pernah baik-baik saja semenjak dua tahun terakhir.
Tok tok tok
"Masuk," ujar Sagara tanpa menoleh ke arah pintu yang diketuk.
"Den?" panggil Bi Nian dengan hati-hati. Ia membawa nampan dengan nasi yang lengkap dengan lauk-pauknya, segelas air putih dan beberapa pil yang Sagara ketahui itu adalah vitamin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Dreams, Darling. [selesai]
Teen FictionJudul sebelumnya, the violinist: sagara Gadis kecil dengan jepitan rambut bunga matahari yang ditemuinya di atap rumah sakit, selalu membayangi Sagara. Pengaruhnya sangat besar bagi hidup Sagara. Dan biola, hanya alunannya yang membuat Sagara tetap...