Bab.3a

17.4K 1.9K 195
                                    

“Om, nggak salah, nih?” Felicia melirik sengit ke arah Reiga yang berdiri di sampingnya.

“Kenapa?”

Ia memukul udara kosong dengan kedua tangan yang terkepal, menahan tekanan untuk meledak marah pada laki-laki yang berdiri menjulang  dan memandangnya dengan tatapan tak berdosa.

“Ini Ancoool! Hellow, Om! Memangnya nggak ada tempat lain buat main?”

Perkataan Felicia yang berbalut kekesalan hanya ditanggapi dengan senyum tipis oleh Reiga. Ia memandang hamparan pantai buatan di depannya. Matanya menyipit menahan panas, dan rambut panjangnya berkibar tertiup angin.

“Sesekali kita perlu main ke tempat seperti ini, untuk mendapatkan udara segar.”

“Aah! Dasar orang tua. Kenapa, sih, kita nggak ke kafe, atau mall? Malah ke tempat yang kering kerontang kayak gini?” Felicia mengomel, disertai dengan dengkusan kasar dan entakan kaki di jalanan beton berpasir.

Lagi-lagi Reiga hanya tersenyum, tangannya merapikan rambutnya yang terkena tiupan angin. “Mall, dan kafe itu biasa. Ini baru luar biasa.”

“Luara biasa kalau malam, ini sore, Om. Matahari lagi panas dan cetar!”

Reiga menoleh, memandang gadis dengan rambut berkibar tertiup angin dan wajah yang cemberut. Ia mengulurkan tangan ke arah kepala Felicia, dan merapikan rambut gadis itu.

“Mau apa, Om?” Felicia otomatis mengelak.

“Kamu nggak bawa kunciran?”

Gadis itu menggeleng.

“Pantas, rambutnya terbang menutupi muka. Mau pakai kunciranku?”

“Diih, nggak banget.”

Reiga menahan tawa, merasa jika Felicia sangat lucu. Meski gadis itu marah-marah karena ia bawa ke pantai tapi tidak memaksa pulang.  Felicia yang sepertinya sudah pasrah, bahkan bermain pasir di bawah kakinya dengan menendang-nendang ke sembarang arah.

“Kamu lagi kesal?” tanya Reiga setelah mengamati tingkah laku gadis di sampingnya selama beberapa saat.

Felicia yang semula menatap pasir kini melengos. “Nggak, B aja, tuh.”

“Aku lihatnya lain, kamu kayak lagi marah.” Reiga merogoh kantong dan mengambil rokok. Lalu, mulai menyulutnya. “Nggak apa-apa,’kan kalau aku ngrokok.”

Tidak ada jawaban, Felicia kembali menunduk menatap pasir di kakinya. Ia masih merasa kesal tentu saja, karena sikap Rio padanya. Mereka sudah berpacaran beberapa bulan, dan jarang sekali kencan bersama. Sikap Rio yang dingin padanya, membuat rasa percaya dirinya turun.

“Kemarin ada ayam mati di sini,” ucap Reiga tiba-tiba.

“Hah, kenapa?” Felicia mendongak heran.

“Karena melamun. Kamu kalau terus-terusan melamun juga bisa--,”

“Huft, aneh.”

Aroma tembakau yang menguar di udara, bercampur dengan uap air dan juga bau masakan yang dijual di kedai-kedai kecil di pinggir jalan, membuat suasana sore yang berbeda. Felicia  menyipit memandang hamparan laut di hadapannya.  Rasanya, sudah lama sekali ia tak pernah pergi ke tempat seperti ini. Semenjak mamanya meninggal, sang papa sibuk bekerja dan ia menjalani rutinitas hidup tanpa pernah berekreasi. Kalau pergi ke mall tentu saja sering tapi ia tak pernah menganggap itu rekreasi.

“Nih, ambil!” Reiga menyodorkan uang lima puluh ribuan padanya.

“Mau ngapain?” tanya Felicia heran.

Dear OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang