Special Part (Diary Kozi)

10.3K 1K 114
                                    

Diary Kozi3

Hai, Gaes. Kozi yang imut nan menawan balik lagi. Jangan bosan, ye.

Jadi gini, suatu hari aku tuh lemes banget. Nggak nafsu makan, apalagi bermain. Biasanya, kalau sore atau malam aku suka kalau diajak lari-larian di halaman sama Mama Muda. Entah kenapa kali ini aku ngrasa capek banget. Mungkin karena aku sedang lelah menghadapi kenyataan hidup, harus berbagi rumah dengan manusia tanpa sopan santun yang dipanggil ‘OM’ itu. Biasanya, tekanan batin efeknya lebih kuat dari pada kelelahan fisik. Itu yang aku dengar dari percakapan Mama Tua sama Papa suatu hari lalu. Biar pun cuma kucing, tapi pengetahuanku soal hidup itu nggak bisa diragukan lagi.

Oke, kembali ke soal kelelahan tadi. Mama Muda yang ternyata lihat aku kurang semangat, meraba dahi dan bagian bawah ketekku. Aku bisa dengar dia teriak panik.

“Kozi, kamu demam!”

Setelah itu, dia lari ke dalam rumah dan balik lagi dengan keranjang besi biru.

“Ayo, Kozi. Mama bawa kamu ke dokter.”

Karena nggak mau bikin Mama Muda kuatir, aku masuk ke kandang dengan patuh. Tidur di sana sementara Mama Muda memangkuku saat kami naik motor menuju dokter. Syukurlah, kata dokter aku demam biasa, hanya flu. Pantas kadang bersin-bersin kadang keluar ingus. Aku cuma diam aja saat Mama  Muda dikasih resep buat aku nanti.

“Yah, Kozi. Gerimis ternyata. Tapi, nggak deres, sih,” ucap Mama Muda saat kami selesai urusan dengan dokter dan sedang menunggu motor jemputan. “Nggak apa-apa, tenang. Mama selimutin kamu pakai jaket. Biar kamu nggak kehujanan.”

Hei, Mama. Nggak usah sampai begitu juga. Kandangku itu tertutup. Nggak akan kena air hujan. Seperti biasanya, Mama Muda nggak bisa dengar teriakanku. Dia tetap melepas jaket dan menutupi kandangku sementara kami melaju di jalanan.

Aku jadi ngrasa nggak enak, Gaes. Takut Mama Muda kena hujan dan basah. Tapi, gimana, ya. Kalau sudah cinta memang rela berkorban apa saja. Seperti cinta Mama Muda padaku.

“Kamu ngapaian hujan-hujan pergi?” Suara manusia gondrong terdengar saat kami mencapai teras rumah.

“Kozi sakit. Aku bawa ke dokter, Om.”

“Bisa nunggu aku nanati aku antar. Kalau nggak naik taxi biar nggak kehujanan.”

“Nggak apa-apa, Om. Cuma hujan air.”

“Ya iyalah, nggak mungkin juga hujan emas. Awas kalau flu.”

Mendengar perdebatan mereka, perasaanku ikut nggak enak hati, Gaes. Karena aku Mama Muda jadi kebasahan.

Mungkin karena lagi sakit, aku dibiarkan lepas di dalam rumah. Kali ini dengan nyaman aku bergelung di sofa kecil favoritku. Sementara Mama Muda yang sudah mandi duduk di sofa panjang dan sedang minum sesuatu saat manusia gondorong itu datang.

“Minum apa itu?”

“Teh manis panas. Lumayan buat menghangatkan badan.”

“Oh, mau dibantu biar badan makin hangat?”

“Nggak makasih, palingan juga dipeluk sama Om.”

“Oh, ada metode baru.”

“Paling juga ciuman.”

“Ih, kamu. Makin jago nebak aja.”

“Nggak deh, Om. Aku cukup minum teh manis saja.”

“Jangan begitu, aku sudah baik hati juga.”

“Om, awaas. Aduuh!”

Ckckck! Dasar manusia lemah mereka. Aku yang sakit karena demam tapi mereka yang peluk-pelukan. Malah sekarang aku lihat Mama Mudaku dipangku dan dipeluk si manusia gondrong itu. Hei, kalian! Aku yang sakit di sini! Aku yang butuh kehangatan dan pelukan!

“Om, jangan gitu, ah. Ada Kozi lihat,” ucap Mama Muda sambil melirikku saat mereka hendak gigit-gigitan.

“Ah, hanya kucing. Tahu apa dia!”

Dasar manusia gondrong resek! Aku ini bukan kucing biasa. Jangan gigit-gigitan di depanku! Hei-hei, kalian!

 Jangan gigit-gigitan di depanku! Hei-hei, kalian!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dear OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang