Bab.6b

14.7K 1.9K 114
                                    

Karena kemarin malam sudah izin untuk tidak datang ke kafe, malam ini Reiga harus pergi. Namun, ia tidak perlu buru-buru pergi karena kebagian tugas untuk menutup acara. Pukul sembilan malam, ia berpamitan pergi dan meminta agar Felicia mengunci pintu.

Setelah memastikan semua akses masuk terkunci, dan Felicia aman di dalamnya.  Ia melesat dengan motor meninggalkan rumah. Sampai di kafe, suasana masih ramai. Banyak pengunjung berteriak saat melihatnya.

“Gue pikir nggak datang lagi lo malam ini,” ucap Yuda saat dia duduk di hadapan laki-laki itu.

“Datang, udah janji,’kan gue.”

“Emang lo ngapain? Sibuk banget akhir-akhir ini.”

“Ada, urusan keluarga.”

Setelah melepas jaket, ia membantu Yuda meracik minuman bagi pengunjung. Meski Minggu malam tapi suasana kafe masih ramai, mungkin karena ada pertunjukan musik. Beberapa pengunjung wanita datang menyapanya dan mengajak mengobrol. Reiga menanggapi seperlunya, sekadar berbasa-basi.

“Eh, lo banyak yang minat.” Yuda mencolek Reiga dan menunjuk dengan dagu ke arah meja depan di mana seorang wanita memandang Reiga tak berkedip. “Dari tadi nanyain lo.”

Reiga melirik sekilas ke arah wanita itu dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Lo denger omongan gue kagak?”

“Denger, gue nggak budek!”

“Lalu?”

“Apanya yang lalu?”

“Lo nggak minat?”

Reiga menarik napas panjang, menatap ke arah sahabatnya lalu berucap tegas. “Lo banyak mulut!”

“Jangan lupa, waktu lo nanti penutupan.” Yuda bicara sambil mengocok minuman di tangannya. I pasrah saat melihat ucapannya hanya ditanggapi sekadarnya oleh Reiga.

“Iya, masih dua jam lagi.”

Konsentrasi Reiga pecah saat ponselnya berbunyi, terlihat nama Felicia di layar ia mengernyit. Ia mengangkat pada dering kedua.

“Fel, ada apa?” tanyanya dengan suara keras mengatasi gemuruh musik.

“Om, aku ta-takuut. Ada yang mau congkel jendelaa.” Suara Felicia terdengar lirih tapi cukup jelas didengar.

Tubuh Reiga seketika kaku saat mendengarnya. “Jangan keluar dari kamar, aku pulang!”

“Tapi, Om--,”

Tanpa menunggu jawaban Felicia, ia menutup sambungan. Dengan sigap, ia meletakan peralatan untuk membuat kopi. Ia serahkan pada barista di sebelahnya. Lalu, menyambar jaket dan setengah berlari keluar.

“Woi, lo mau ke mana?” Terdengar Yuda berteriak.

“Pergi bentar!” jawab Reiga tanpa menghentikan langkah.

“Lo mau manggung!”

“Gue pasti balik!”

Sampai di parkiran, ia menghidupkan mesin dan memacu kendaraannya meliuk-liuk di jalanan. Hatinya diliputi kekuatiran tentang Felicia. Ia berharap gadis itu mendengar perintahnya untuk tidak keluar kamar. Rasa tegang, bercampur kuatir, membuat Reiga melajukan motor di luar batas kecepatan normal. Di pikirannya hanya satu, tiba di rumah lebih cepat. Untunglah keadaan lalu lintas yang agak lengang seperti mendukung niatnya.

Karena memacu dalam kecepatan tinggi, ia tiba di rumah tak lebih dari tiga puluh menit. Memarkir motor dekat di halaman dan tergopoh-gopoh ke pintu lalu menggedornya.

Dear OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang