Bab.8b

14.4K 1.7K 172
                                    

Bisa jadi hanya perasaan saja, atau memang sungguh terjadi, Felicia merasa jika Reiga berubah. Laki-laki itu menjadi lebih murung dari biasanya. Merokok lebih sering dengan pandangan mata yang cenderung kosong. Ia tak tahu apa yang terjadi, tapi menduga ada hubungannya dengan kedatangan Putri Jelita.

“Om, kok, nggak ngeringin rambut?” Felicia bertanya suatu sore saat melihat Reiga dalam keadaan rambut basah, merokok di ruang tamu. Laki-laki itu tidak memakai atasan, hanya berupa celana pendek sedengkul. Air menetes-netes di bahu dan membasahi punggung.

“Malas,” jawab Reiga sambil mematikan rokok di asbak.

“Dasar, sini aku keringin!”

Felicia mengambil handuk dari teras belakang dan menggunakannya untuk membantu Reiga mengeringkan rambut. Ia menggosok-gosok handuk ke seluruh permukaan rambut.

“Nanti bisa masuk angin, Om. Kalau rambut nggak kering. Apalagi gondrong gini.”

“Aku nggak selemah itu, udara negara kita itu panas jadi cepet kering.”

“Yah, paling nggak dihandukin. Biar nggak netes-netes ke bahu.”

Reiga terdiam, membiarkan Felecia mengeringkan rambutnya. Ia merasakan sentuhan gadis itu tidak hanya di rambut tapi juga leher dan bahunya. Ia meriah ponselnya dari atas meja saat benda itu bergetar. Ia membuka layar dan menemukan nama Putri Jelita di sana.  Sebuah pesan berisi pertanyaan basa-basi dikirim oleh wanita itu, ia membalas cepat dan meletakkan ponsel ke tempat semula.

Felicia menatap puncak kepala Reiga. Ia tak tahu pesan yang diterima om-nya dari siapa, tapi saat layar ponsel  kembali berkedip, Reiga mengabaikannya. Pikirannya menerawang pada penampilan Putri Jelita yang menahan. Bertubuh tinggi, langsing, dengan wajah tirus dan rambut kecoklatan indah. Siapa pun akan mengatakan jika wanita itu amat rupawan.  Pasti Reiga memujanya karena itu.

“Om, boleh aku tanya sesuatu?”

“Ehm ….”

“Itu  …. Wanita idamanmu seperti apa? Maksudku, tipe idaman.”

Reiga tidak langsung menjawab pertanyaan Felicia. Ia memikirkan jawaban dan mencoba menemukan perkataan yang pas.

“Aku nggak ada tipe tertentu. Menurutku, sebuah hubungan percintaan itu artinya berproses. Kalau kita mencintai seseorang, berarti kita berproses untuk menyesuaikan.”

Felicia mengangguk. “Oh, berproses.” Pikirannya lagi-lagi tertuju pada Putri Jelita dan menurutnya, mungkin Reiga dan wanita itu pernah berproses dan banyak hal yang membuat keduanya berhenti berusaha.

“Kenapa kamu tanya-tanya?”

“Nggak ada, sih. Sekadar tanya aja.”

“Jangan-jangan kamu naksir aku?”

Felicia mencubit punggung Reiga.

“Aww, sakit. Bilang aja terus terang kalau kamu ingin berproses denganku.”

“Diih, Om apaan. Aku mana ada niat kayak gitu.”

“Perasaan kamu nggak ngomong gitu waktu kucium kem--,”

Perkataan Reiga tidak diselesaikan karena Felicia meloncat ke atas tubuhnya dan menutup mulutnya dengan tangan gadis itu.

“Om, diaaam!”

“Haha. Iyaa, aku diam.” Reiga berusaha menyingkirkan tangan Felicia dari mulutnya. “Nah, kamu sekarang aja nindih aku. Bilang aja kalau mau dicium lagi.”

“Apaan, sih. Om malesin banget.”

Felicia beranjak dari tubuh Reiga dan kembali terduduk saat laki-laki itu menarik tubuhnya.

Dear OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang