Tidak ada yang berubah dengan sikap Reiga, meskipun mereka sudah berciuman. Itu yang dipikirkan oleh Felicia. Laki-laki itu masih sama mengesalkan dan tukang buli seperti sebelumnya. Terkadang, saat sendiri ia sering kali meraba bibir demi mencecap rasa bibir Reiga di bibirnya. Kemudian, mengetuk kepalanya karena merasa pikirannya kotor.
Sekarang, saat ia sudah bisa berciuman. Niatnya untuk pamer Rio lenyap. Ia tak tahu harus bagaimana dengan sang pacar, terlebih sekarang saat seluruh kampus tahu kalau cowok itu sedang dekat dengan Miranda.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Amber suatu siang. Mereka baru saja mengobrol dengan teman sekelas dan mendengar gosip tentang Rio dan Miranda.
"Soal apa?" tanya Felicia malas.
"Rio sama Mirandalah. Hubungan kalian gimana, sih?"
Felicia menggeleng. Terus terang ia juga tak tahu hubungannya dengan Rio bagaimana. Karena semenjak pertengkaran di taman beberapa hari lalu, mereka tidak pernah berkomunikasi. Dan, setahunya memamng selama ini begitu. Jarang berkomunikasi adalah hal biasa dalam hubungannya dengan Rio.
"Fel, malah bengong!"
"Yah, nggak gimana-gimana. Biasa aja kayak kemarin-kemarin. Dia jalan sama Miranda, gue--,"
"Dan lo cuek aja diinjak-injak gitu harga diri lo!" sergah Amber kasar. "gimana kalau si dada besar itu ngomong yang nggak-nggak soal lo?"
Dengan mata menerawang menembus langit-langit, pikiran Felicia berkelana. Ia merasa aneh, saat minggu-minggu lalu begitu sengsara karena Rio, kini perasaan itu mulai menguap. Ia tak tahu, apa yang salah dengan dirinya. Yang pasti, Rio bukan lagi prioritas. Karena kini ada orang lain. Tepat saat itu, pintu kelas membuka dan Reiga masuk ke dalam ruangan.
Seketika, ruangan sunyi. Semua mahasiswa menegakkan tubuh dan menghadap ke depan.
"Good morning, everbody," sapa Reiga dengan suaranya yang dalam.
"Good morning, Sir."
Seluruh kelas, serentak menjawab. Reiga mulai memasang proyektor dan slide slow terpampang di papan.
Seketika, tak ada yang bicara. Saat seluruh mata memandang ke depan. Entah karena mata kuliah yang memang penting, atau karena terpesona dengan sosok Reiga, tak ada yang tahu pasti. Felicia bahkan bisa mendengar sahabatnya terus menerus mendesahkan nama Reiga.
"Pak dosenku yang tampan, dan menawan. Aku mau jadi pulpennya, biar bisa dipegang sama dia terus."
Hampir saja Felicia menyemburkan tawa jika tidak ingat sedang ada di kelas. Ia menganggap sikap Amber sangat berlebihan terhadap Reiga. Mendadak, ia terpikir satu hal. Bagaimana jadinya nanti, kalau Amber tahu, Reiga adalah om-nya dan terlebih lagi mereka sudah pernah berciuman.Tidak dapat dibayangkan reakasi Amber nantinya. Demi menghindari kehebohan, ia memilih untuk menyimpan rahasianya rapat-rapat. Ia membutuhkan waktu untuk mengungkap semua.
Sepanjang mata kuliah berlangsung, pikiran Felicia mengembara ke mana-mana. Tentang Rio, tentang Amber, juga Reiga. Terlalu asyik melamun hingga tak terasa waktu kelas berakhir.
Ruangan bergemuruh saat Reiga mengakhiri pertemuan. Sesi tanya jawab yang sedianya dilakukan di menit terakhir, kini diundur ke pertemuan berikutnya. Banyak yang tidak puas terutama para cewek..
"Padahal aku mau tanya, Pak Reiga itu kalau malam Minggu mainnya ke mana. Malah udahan," gerutu Amber dengan kekesalan terlintas di wajah.
"Masih ada lain kali," jawab Felicia spontan.
"Aku merasa jatuh cinta beneran kali ini."
Dengan mata menatap sosok Reiga yang sedang mengemasi barang-barangnya, Amber mendesah sambil menepuk dada. "Pak Dosen, I love you."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Om
RomanceFelicia 20 tahun, gadis ceria yang patah hati karena pacar yang mencampakkannya. Pernikahan papanya membawa jalan kedekatanya dengan Reiga Pratama, laki-laki tampan yang merupakan adik dari sang mama tiri. Hubungan aneh, lucu, menggemaskan dan terla...