Bab.4b

16.1K 1.9K 121
                                    

Saat Reiga selesai mandi, ia mengetuk pintu kamar tapi tidak ada jawaban. Secara perlahan ia membuka pintu dan mendapati Felicia tergolek di atas ranjangnya dalam keadaan tertidur. Ia menghampiri ranjang, menatap posisi Felicia yang telungkup dengan wajah menghadap ke pintu. Rambut basahnya tergerai menutupi bahu dan membuat kaos yang dipakainya lembab. Handuk yang semula dipakai, kini tersampir di sandaran kursi.

Untuk sesaat Reiga tertegun, menatap Felicia yang tertidur tenang. Ia tahu, pasti gadis itu kelelahan karena menangis. Ia tidak tahu hal apa yang membuat Felicia bersedih. Tak bisa menahan diri ia mengulurkan jemari untuk mengelus pipi gadis yang terbaring di ranjangnya. Menyusuri lembut dari dahi, hidung, dan berakhir di bibir.  Ada semacam perasaan aneh yang selalu ia rasakan tiap kali berada di dekat ponakannya, dan ia mencoba menepis. Tidak ingin bertindak terlalu jauh, ia mengambil baju di lemari dan bermaksud mengganti di kamar mandi.

Ia meraih pakaian basah Felicia dan sedikit tertegun saat menatap bra putih di tangannya, ada pula celana dalam berenda dengan warna yang sama. Tanpa ia sadari seulas senyum keluar dari mulutnya. Setelah memasukkan ke dalam plastik baju-baju basah itu, ia memanggil layanan laundry dan meminta dikerjakan secara cepat. Menunggu Felicia bangun, ia meraih buku dan membaca di ruang tamu.

“Om, aku lapar.”

Suara Felicia membuatnya mendongak, ia menatap ponakannya yang berdiri dengan wajah sembab memakai kaos dan celananya yang kedodoran.

“Aku sudah memesan makanan, mungkin sebentar lagi datang.”

Dengan malas Felicia mengenyakkan diri di samping Reiga. Masih dalam keadaan mengantuk.

“Felicia, aku mau tanya sesuatu.”

Felicia yang sedang menguap, menganggukkan kepala. “Apa, Om.”

“Kamu punya pacar?”

Pertaanyaan Reiga membuat Felicia terdiam lalu mengangguk perlahan. “Ada, satu kampus. Namanya Rio.”

Riega memiringkan tubuh, menghadap ponakannya. “Jadi, kamu menangis karena dia?”

Untuk sesaat Felicia terdiam, ragu-ragu untuk menjawab. Selama ini ia bicara soal Rio hanya pada Amber. Meskipun kedua orang tuanya juga tahu tidak pernah secara gamblang membicarakan tentang hubungan mereka. Ia melirik Reiga yang menunggunya bercerita.

“Dia nggak seasyik dulu.” Akhirnya ia berucap pelan sambil menggigit bibir bawah.

“Maksudnya?”

“Yah, dulu dia manis, baik, perhatian , dari mulai awal PDKT sampai jadian. Lalu, sekarang dia berubah jadi cuek, dan dingin.” Felicia menatap Reiga sambil memiringkan wajahnya. “Apa semua cowok begitu, Om?”

Sambil menutup buku dan meletakkan di meja, Reiga memandang Felicia. Wajah sembab gadis itu mulai memudar, rasa kantuk pun sepertinya sudah menghilang.

“Nggak semua cowok sebrengsek yang dikatakan orang-orang, ada juga yang makin manis kalau sudah jadi pacar. Hanyaa---,”

“Hanyaa?”

“Untuk kasusmu aku kurang paham, bisa jadi ada masalah dari Rio yang kita nggak tahu. Dia sedang sibuk mungkin, atau banyak urusan yang kamu nggak tahu.”

“Iya, sih?” Felicia merenung, dan berkata dalam hati bisa jadi selama ini dialah yang egois dan nggak mau tahu.

“Apa kalian sudah berciuman?”

Pertanyaan Reiga yang diucapkan dengan tiba-tiba membuat Felicia mendongak. Matanya membulat dan mulutnya menganga. Untuk sesaat dia bingung harus menjawab hingga terdiam cukup lama.

Dear OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang