Bab.4a

16.2K 1.8K 91
                                    

Kasak-kusuk terdengar di koridor yang ramai. Beberapa mahasiswa sedang menunjuk ke suatu arah sementara senyuman  keluar dari mulut mereka.  Bahkan banyak yang bersuit-suit menggoda.  Entah apa yang mereka perbincangkan, Felicia tidak tahu. Tidak biasanya melihat koridor ramai seperti sekarang. Saat ia dan Amber melangkah hingga di ujung lorong, apa yang dilihat membuat dirinya kaget bukan kepalang.

Pacarnya yang tak lain adalah Rio, terlihat sedang berbincang dengan Miranda. Semua tahu bagaimana reputasi cewek itu sebagai penggoda. Banyak yang menyukainya karena berdada besar, dengan kulit putih, dan tubuh sexy menggoda. Hampir lima puluh persen cowok di kampus menyukainya.

“Gue bilang apa, mereka lagi PDKT,” ucap Amber dengan nada pelan.

Felicia merasa dadanya sesak. Ia berusaha mengingkari, dengan ,mengatakan pada diri sendiri bahwa Rio hanya sedang mengobrol biasa dengan Miranda.

“Mereka cuma mengobrol,” jawabnya  dengan mata menatap ke arah Rio tak berkedip.

“Oh, ya? Lo lihat nggak tangan Rio bolak balik ke pundak Miranda?”

“Mungkin, sekadar akrab.

Amber berdecak. “Heran lo, ya. Jelas-jelas mereka sedang  flirting.”

Dengan  wajah sendu, Felicia menatap Rio yang kini dikerubuti teman-temannya. Bisa dilihat jika geng Miranda pun ikut berbaur bersama mereka. Kumpulan mahasiswa famous sedang berkumpul, terlihat menyilaukan. Bahkan Felicia pun merasa rendah diri sekarang.

Melihat sahabatnya menunduk sedih, Amber menyenggolnya. “Hei, nggak mau ke sana?”

Dengan lemah Felicia menggeleng. “Malu.”

“Gue anterin, yuk!”

“Nggak mau.”

“Terus, lo mau diam aja dikacangin sama Rio?”

Tidak ada jawaban dari mulut Felicia. Ia bingung harus bagaimana. Ia hanya menatap dengan sendu pada kelompok mahasiswa dengan sang kekasih ada di antaranya. Pertama kalinya, Felicia merasa asing dengan Rio. Ia bahkan tidak ada lagi perasaan memiliki seperti yang dia rasakan beberapa waktu lalu. Perasaan sedih menyergapnya seketika dan  matanya memanas.

“Selamat siang, Pak.”

“Pak Reiga, apa kabar?”

Suara-suara di belakang mereka membuat Felicia dan Amber mendongak. Dari ujung koridor, Reiga melangkah tegap dengan tas hitam di tangan. Laki-laki itu hanya menjawab seperlunya pada sapaan yang ditujukan padanya.

“Ya Ampun, jantung gue,” desah Amber sambil mendekap dada.

Felicia tidak menanggapi, ia menatap dalam diam sementara sang om kini semakin mendekat. Tak jauh dari tempatnya berdiri, mendadak Reiga menghentikan langkah. Mata laki-laki itu menyorot ke arah tajam ke arahnya. Serta merta ia memalingkan wajah. Tidak ingin Reiga melihat kesedihannya.

“Selamat siang, Pak,” sapa Amber lembut.

Reiga mengangguk, menatap tajam ke arah ponakannya yang menunduk lalu meneruskan langkah.

“Fel, Pak Reiga tersenyum ke arah gue!”pekik Amber gembira. Gadis itu nyaris melompat di tempatnya berdiri.”Dih, lo mah kelihatan suntuk.” Ia terdiam saat melihat sahabatnya tak bereaksi.

Felicia menarik napas panjang dan menggeleng. “Gue pulang dulu.”

“Hei, kita samperin cowok lo.”

“Mau ngapain?” tanya Felicia.

“Tanya aja, maksudnya apaa. Sini, gue temenin!”

Setengah memaksa, Amber menarik tangan Felicia dan membawanya ke  arah Rio. Ia tak peduli meski Felicia meronta-ronta untuk melepaskan diri. Lima langkah dari tempat Rio berdiri, mereka berhenti.

Dear OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang