Felicia kesurupan, itu yang dipikirkan oleh Reiga saat mendengar gadis itu mengomel tiada henti. Dari pagi sudah terdengar dia menelepon Amber dan marah-marah dengan sahabatnya karena mengajaknya ke pesta dan meninggalkan dia sendiri. Tidak puas hanya itu, Felicia juga mengomeli Reiga karena selepas mandi, meletakkan handuk sembarangan.
“Om, jorok tahu, nggak? Handuk habis dipakai, tuh, jemur di belakang. Atau, taruh di keranjang cucian jadi nggak geletak sembarangan di sofa,” omelnya sambil menyambar handuk dengan wajah cemberut dan meletakkannya di dalam keranjang.
Reiga menatap sekilas, tidak mengindahkannya. “Niatku memang mau dicuci.”
“Kalau dicuci napa taruh di sofa!” Sambar Felicia dengan nada cepat.
Tidak ingin berbantah, Reiga tidak menjawab omelan Felicia. Ia membiarkan gadis itu mengoceh panjang lebar dan mengomentari banyak hal. Sementara dia asyik dengan pekerjaan di laptop. Selesai dengan Reiga, gadis itu mendapat sasaran baru untuk mengomel, yaitu kucing kesayangannya. Jika biasanya dia memuja dan memuji binatang itu, terserah apa pun yang dilakukan si kucing, kali ini berbeda. Reiga bahkan bisa mendengan suara si kucing yang bisa jadi sedang memprotes kenapa dia diomeli majikannya.
“Kozi, kamu kencing sembarangan. Sudah ada pasir malah kamu garuk-garuk keluar. Dasar kucing nakal!”
Mungkin si kucing juga malas menanggapi cewek yang mengomel. Pikir Reiga dengan sedikit geli, karena ia dengar Felicia menjerit saat mendapati binatangnya tidur di sembarang tempat.
“Hei, diomeli malah tidur! Badung kamu, ya!”
Setelah puas mengomel dengan semua hal, gadis itu mengunci diri di kamar. Reiga merasa lega, pada akhirnya rumah kembali sunyi. Namun, dugaannya salah jika mengira masalah sudah selesai. Karena sejam kemudiam, Felicia pamit ke tukang sayur dan kembali ke rumah dalam keadaan kesal.
“Itu Abang tukang sayur mau naik haji kali, ya. Apa-apa dijual mahal. Heran aku sama penjual kayak gitu!”
“Mungkin memang lagi langka, makanya mahal.” Reiga menyahut santai.
Felicia berkacak pinggang tak setuju. “Om tahu apa, sih? Kamu enak apa-apa belanja di supermarket. Punya uang soalnya. Nah kami, yang hidup sederhana harus beli barang-barang yang mahal.”
Reiga hanya menghela napas panjang, dan ia berusaha untuk tidak menanggapi omelan Felicia. Membiarkan saja gadis itu menyumpahi dunia dan isinya, mungkin dengan begitu akan lega hatinya. Sepanjang sisa hari, keduanya tidak saling bicara. Entah salah apa, Reiga merasa jika Felicia merasa kesal jika melihatnya. Itu yang membuat gadis itu mengurung diri di kamar hingga malam.
Pukul tujuh malam, Reiga berniat untuk pergi. Karena Felicia tak menampakkan diri, akhirnya ia mengetuk pintu kamar gadis itu untuk pamitan.
“Felicia, aku mau pergi. Kamu sebaiknya kunci pintu depan.”
Mengetuk beberapa kali, tak ada jawaban. Reiga menduga, jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi. Diliputi rasa ingin tahu, ia membuka pintu tanpa mendengar jawaban Felicia.
“Fel, aku mau pergi.”
Ia terdiam saat mendapati Felicia meringkuk di atas ranjang. Wajah gadis itu memucat dengan keringat membanjiri tubuh.
“Kamu kenapa?” tanyanya kuatir. Ia meletakan tangan ke dahi gadis itu untuk mengukur suhu. “Nggak panas. Mana yang sakit?”
“Pe-perut Om, kram banget.” Felicia menjawab sambil menggigit bibir.
“Ayo, kita ke dokter. Aku antar.” Reiga duduk di samping ranjang.
Felicia menggeleng. “Nggak, ini lagi haid.” Saat mengucapkan itu, wajahnya memerah menahan malu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Om
عاطفيةFelicia 20 tahun, gadis ceria yang patah hati karena pacar yang mencampakkannya. Pernikahan papanya membawa jalan kedekatanya dengan Reiga Pratama, laki-laki tampan yang merupakan adik dari sang mama tiri. Hubungan aneh, lucu, menggemaskan dan terla...