Bab.10b

14.6K 2.4K 243
                                    

✨✨✨

Reiga memacu motornya dengan kencang, menembus jalanan yang tidak terlalu padat. Jarak antara kafe dan rumah Putri Jelita lumayan jauh. Sepanjang jalan pikirannya berputar terus, dari mulai tangisan Putri Jelita yang terdengar menyayat dan juga ketakutannya jika terjadi sesuatu dengan wanita itu.

Saat tiba di lampu merah, Reiga menghentikan motornya. Ia menatap kosong pada orang-orang yang berlalu lalang di trotoar. Kebanyakan dari mereka ingin mencari makan malam di warung tenda. Seketika, ingatannya tertuju pada Felicia dan menyadari jika gadis itu belum makan. Mencatat dalam hati, ia berniat mengirim pesan pada Felicia begitu sampai di rumah Putri Jelita.

Mungkin karena ia memacu motor dengan kecepatan tinggi, atau karena jalanan yang tidak macet, dalam waktu 30 menit ia sudah tiba di apartemen Putri Jelita. Setelah memarkir motor, ia menukar KTP dengan karti akses dan bergegas masuk ke lift.

Saat lift melaju ke atas, pikirannya mengembara pada beberapa tahun silam. Ia dulu sering datang ke tempat ini, hingga bisa dikatakan staf yang bertugas mengenalinya. Kini, seiring berjalannya waktu, ia melihat yang bekerja menjaga lobi buka lagi orang yang ia kenal.

Lift berhenti di lantau delapan, ia bergegas keluar. Menyusuri lorong dengan langkah tegap dan berhenti di kamar nomor 807 D, untuk sesaat terdiam sebelum tangannya memecet bel.

"Putriii, kamu di dalam?!" Ia berteriak tak sabar, saat hampir lima menit di depan pintu dan tidak ada yang membuka. "Putriii!"

Ia terus menggedor hingga pintu terbuka dan terlihat sosok Putri Jelita dalam balutan gaun tidur biru. Mata wanita itu berkaca-kaca saat melihat Reiga.

"Hei, kamu kenapa?" tanya Reiga tanpa basa-basi. Mengamati sosok Putri Jelita dari atas ke bawah. Rambut wanita itu acak-acakan dan di wajahnya bersih tanpa make-up. Sementara bercak-bercak air mata terpeta jelas di pipi.

Putri Jelita menubruk tubuh Reiga dan memeluk erat laki-laki itu. "Reii, aku sakiit."

"Apanya yang sakit?" Reiga berusaha melepaskan pelukan Putri Jelita di tubunya tapi susah. "Putri, ayo kita ke dokter."

Tak lama terdengar tangisan dari Putri Jelita dan wanita itu makin mempererat pelukannya. "Nggak, bukan tubuhku yang sakit tapi hatiii, Rei."

Dengan gugup, Reiga menepuk pundak Putri Jelita. Berusaha untuk menenangkan tangis wanita itu. "Sudah, hentikan tangisanmu. Aku jauh-jauh datang bukan untuk dengar kamu menangis."

Berusaha menghentikan sedu sedan, Putri Jelita mengangkat wajah dari pundak Reiga. Ia mengusap air mata dengan punggung tangan dan memandang laki-laki tampan yang menatapnya dengan kebingungan.

"Ada apa ini?" tanya Reiga sekali lagi. Matanya berpaling ke sekeliling apartemen Putri Jelita. Ada serpihan gelas di lantai, dengan cairan yang membasahi. "Kamu minum alkohol?" tanyanya lamat-lamat.

"Upz, kamu lihat ternyata." Putri Jelita merentangkan lengan, hingga gaun tidur yang dipakainya tersingkap. Wanita itu berdiri dengan wajah sembab. "Aku hanya minum dikit tadi, keburu gelas pecah."

Menahan kesal, Reiga menarik napas panjang. Ia merasa sia-sia sudah datang jauh-jauh dalam keadaan kuatir yang akhirnya, malah mendapati kenyataan aneh seperti sekarang. Tidak ada orang lain di apartemen ini, ia yakin itu. Hanya ada Putri Jelita yang sepertinya sedang menangis atau entah meratapi apa.

"Kamu bersenang-senang, lalu kenapa meneleponku dan berbohong kamu sakit?" tegur Reiga dingin.

Putri Jelita tertawa, ia kembali mendekat ke arah Reiga dan bermaksud memeluk laki-laki itu. Namun ia harus kecewa karena Reiga menepis uluran tangannya.

Dear OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang