Bab.7a

15.5K 1.8K 165
                                    

“Lo pulang akhirnya dijemput sama Om lo?” Amber bertanya berkali-kali dan jawaban Felicia masih sama.

“Iyalah, orang gue tersesat!”

Amber menangkupkan kedua tangan di depan dada. “Maaf, ya, Fel. Nggak nyangka gue akhirnya bisa gitu. Gue pikir Nanda itu cowok baik-baik.”

Felicia mengangguk. “Saking baiknya sampai mau pegang-pegang gue.”

“Aduuh, udah dong. Jangan ngambek lagi.” Amber menggoyang-goyang lengan Felicia dengan wajah memelas. “Gue tahu kalau gue salah, okee. Lagian, lo udah ngomel juga.”

Menarik napas panjang, Felicia tersenyum sambil mencubit dagu sahabatnya. Masalah pesta sudah berkali-kali mereka bahas. Begitu juga dengan Nanda yang brengsek. Ia merasa tak ada gunanya lagi marah dengan Amber. “Iyaa, udah gue maafin. Sebagai gantinya, traktir gue.”

“Yuuk, ah. Mumpung lagi kosong.”

Mereka beranjak dari kelas, melangkah beriringan sambil mengobrol di sepanjang korodor yang ramai. Felicia merasa sakunya saat merasa ponsel di dalamnya bergetar.

“Temui aku di taman depan.” Masuk sebuah pesan dari Rio.

Menjawab ‘oke’ Felicia berpamitan pada Amber dan meminta maaf tidak bisa menemani ke kantin. Amber hanya mengangkat bahu dan mereka berpisah di koridor. Sepanjang jalan menuju taman, suasana kampus dalam keadaan ramai. Felicia sempat terhenti langkahnya beberapa kali karena terhadang rombongan mahasiswa yang berjalan di depannya.

Tiba di sudut yang mendekati taman, tanpa sengaja ia mencuri dengar perbincangan beberapa cewek di depannya. Ia mengenali mereka sebagai teman-teman dari Miranda, si gadis popular.

“Lo tahu nggak, kemarin Miranda jalan sama Rio.”

Mendengar nama Rio disebut, seketika Felicia menajamkan pendengarannya.

“Kayaknya mereka udah jadian.”

“Hooh, kencan romantis berdua.”

Felicia melangkah dengan kaku. Semakin banyak yang ia dengar, semakin perih hatinya. Ia melangkah dengan kepala tertunduk, hingga tak sadar sudah sampai di taman yang dituju.

Ia menemukan sosok Rio sedang berdiri di dekat pohon. Perasaan perih yang baru saja dia rasakan, berusaha ia tepis. Menarik napas panjang, ia tersenyum dan menyapa ceria.

“Rio, udah lama nunggu?”

Rio yang semua asyik bermain ponsel, mendongak ke arahnya. “Lo lama amat!”

“Sorry, koridor ramai. Jadi nggak bisa jalan cepat.”

Dengan wajah menyiratkan rasa enggan, Rio menatap Felicia. “Sudah lo pikirin yang gue bilang?”

Felicia menatap bingung. “Apa?”

“Tentang hubungan kita?”

“Iya, gue mau kita udahan!”

Felicia mendengkus, meletakkan tasnya ke samping dan menatap Rio tajam. “Oh, gue tahu napa lo mau putus sama gue. Karena lo jadian sama Miranda,’kan?”

“Memang.” Rio menjawab tegas tanpa diduga.” Syukur kalau lo tahu.”

Dengan mata menatap tak percaya, Felicia memandang Rio tak berkedip. Ia sama sekali tak menduga jika pacarnya akan mengatakan sesuatu yang amat menyakitkan seperti sekarang.

“Kenapa?” tanyanya pelan.

“Kenapa apa?” tanya Rio balik dengan enggan.

“Kenapa harus sama dia? Apa karena dia lebih popular dari gue?”

Dear OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang