Bab.2b

17K 1.8K 68
                                    

“Apel? Bapak suka makan apel?” tanya Amber dengan pandangan bertanya pada Reiga.

“Yah, sebenarnya enak buah papaya. Tapi, kalau adanya cuma apel, ya, mau gimana lagi?” Jawaban Reiga yang ambigu buat Amber tapi tersirat nyata bagi Felicia membuat gadis itu merengut sebal.

“Pak, apel ada di pasar. Bukan di kampus!” ucapnya ketus sambil menarik lengan Amber yang bengong. “Yuk, ke kantin. Ngapain lama-lama di sini.”

“Eih, tapi Pak Reiga mau apel.”

“Apel kek, papaya kek, biar dia cari sendiri.”

Mengabaikan protes Amber, ia melangkah keluar ruangan dengan sahabatnya terus menerus bicara tentang Reiga dan ketampanan laki-laki itu. Felicia hanya memdengar celoteh sahabatnya dengan geram. Karena ia sama sekali tidak setuju dengan pandangan Amber tentang betapa tampan dan cute Reiga. Ia melihat, kalau om-nya itu biasa saja bahkan cenderung mengesalkan.

Namun nyatannya, hanya dia yang sepertinya tak terpengaruh oleh kehadiran Reiga di kampus. Karena begitu kelas berakhir, rumor tentang dosen baru nan tampan menjalar di seantero kampus. Banyak yang penasaran, terutama mahasiswi tentang Reiga.

Felicia mengunci mulutnya rapat-rapat untuk tidak mengatakan apa pun, saat makan soto sambil mendengar Amber menggosip tentang Reiga.

“Mulai sekarang ingetin gue buat dandan cantik kalau sesi kuliah bahasa inggris.”

“Kenapa memang?” tanya Felicia sambil menyeruput kuah soto.

“Kok, lo masih tanya? Karena Pak Reiga yang tampan menawan tentu saja. Kali aja gue beruntung bisa dapetin hati diaa.”

Tanpa mendongak, Felicia asyik menyeruput kuah soto. Sementara di sampingnya Amber menyantap ketoprak sambil bicara tanpa henti soal Reiga.

“Gue nggak tahu Pak Reiga suka tipe cewek gimana. Tapii, gue akan bersaing sama siapa pun yang suka sama dia. Gue siap bertaruh jiwa raga.”

Dengkusan sebal keluar dari mulut Felicia. Dari setahun lalu kenal dengan Reiga, ia tak pernah melihat ada yang istimewa dari laki-laki itu. Meski semua orang yang ia kenal memuji Reiga tampan. Ia hanya melihat sebagai om yang menyebalkan dan tukang buli. Terlebih kini mereka satu kampus, makin bertambah rasa sebalnya.

“Jadi nonton nggak?” tanya Amber tiba-tiba.

“Jadi, yuuk!”

“Untung hari ini gue bawa mobil,” ucap Amber sambil menyingkirkan piringnya. Ada setengah makanan yang tak tersentuh.”Kita nggak usah repot naik taxi.”

Mereka meninggalkan kantin dan melangkah beriringan menuju tempat parkir. Sepanjang jalan, para cowok tak hentinya menyapa Amber. Felicia tahu kenapa, karena meski berkulit coklat tapi kecantikan sahabatnya tak diragukan lagi. Bahkan sering keluar masuk majalah remaja online, sebagai cewek idola. Meski begitu, Amber tetap menjaga diri dengan tidak bergaul bersama cowok sembarangan. Itu yang membuat Felicia kagum padanya.

“Hei, itu cowok lo!” Amber menyenggol pinggang Felicia dan menunjuk dengan dagu ke arah cowok tampan yang berdiri tak jauh dari mobil Amber. Ada beberapa mahasiswa di sekitar Rio. Mereka sedang bicara dengan gembira, terbukti dari tawa nyaring yang terdengar dari arah mereka.

Felicia tertegun, detik itu juga merasa bahagia. Ia melangkah cepat dan menyapa riang.

“Rio, kok ada di sini?”

Tawa dari kelompok itu terhenti, mereka menatap kehadiran Felicia dengan heran. Sementara gadis itu mengapit tas dan menatap Rio sambil tersenyum.

“Fel, mau pulang?” Meski bertanya pada Felicia tapi mata Rio menatap Amber dan tersenyum pada gadis itu.

Dear OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang