01 ¦ Saran

10.4K 976 202
                                    

Pemandangan yang selalu ia nikmati setiap hari ketika Jisung membuka matanya. Minho yang tertidur pulas dengan posisi yang acak adul. Bukan hanya Minho, Jisung juga sama sih. Entah kenapa itu memberi nilai lebih untuk Minho tersendiri dipandangan Jisung.

Mereka memang tidur bersebelahan. Satu ranjang. Bukan tanpa sebab, memang awalnya kamar ini hanya untuk diisi Minho sendiri. Sendirian. Pihak Universitas menyediakan asrama tidak diperuntukkan untuk ditempati sendirian. Namun, kuasa yang dimiliki oleh orangtua Minho membuatnya mendapatkan kamar untuk sendiri.

Berbeda dengan Jisung. Orangtuanya tak ingin anaknya masih bergerak dalam zona nyaman sang anak. Jadilah Jisung didorong keluar dari zona nyamannya. Ya, caranya dengan tinggal di asrama seperti ini. Namun, namanya juga nasib. Jisung seharusnya tidak mendapat kamar karena kamar di gedung Asrama sudah penuh. Rumahnya memang tidak terlalu jauh dari Univ. Sampai pada akhirnya, pihak Universitas mengabari bahwa ia bisa tinggal dengan Minho.

Jisung akui, Minho itu tampan. Sangat tampan. Wajahnya yang bagai dipahat dengan sempurna dan dengan kehati-hatian, hidung yang mancung, bibir yang mengundang untuk dikecup. Semuanya, proporsional. Sampai-sampai Jisung bingung, Tuhan sepertinya terlalu baik pada Minho ketika menciptakannya.

Hanya ada satu kalimat yang terlintas setiap paginya jika melihat Minho tengah tertidur dengan damai disebelahnya.

Bisakah ku egois untuk memilikinya?

Namun, Jisung tahu semua itu tidak mungkin. Sepertinya. Apalagi Minho itu straight. Beda dengan dirinya.

Jisung segera bangun dan membiarkan Minho untuk tidur lebih lama sendiri. Ia harus menyiapkan sarapan. Setiap harinya Jisung usahakan Minho untuk sarapan. Mereka sama-sama tidak bisa memasak. Jadi, kalau tidak beli pasti diberi penggemar Minho.

Makanan yang diberi oleh para penggemar Minho, bukan melulu coklat atau surat cinta. Tapi juga makan siang, terkadang juga side dish. Baik sekali bukan?

Jisung tahu, ia tidak memiliki hak untuk itu. Tapi, pemilik yang mengijinkannya. Lagipula mereka juga perlu berhemat. Harus pintar memanfaatkan situasi dan kondisi.

"Ho, Minho. Bangun, Ho. " Jisung berusaha membangunkan Minho dari tidur lelapnya.

Jisung sarapan terlebih dahulu sebelum Minho bergabung dimeja setelah ia mandi. Karena ini asrama, jadi hanya ada dua kursi dan satu meja makan.

"Berangkat bareng, gua anter. " Ujar Minho sembari mengunyah makanan yang berada dimulutnya.

Jisung membolakan kedua bola matanya. "Lah? Tumben? "

"Tumben gimana? Kan emang tiap hari gua nganterin lu. "

Jisung merona. "Y-ya bukan gitu maksudnya. Biasanya kan Lu pergi duluan gitu. Kok tumben enggak? " Jelasnya.

"Udah, pokoknya lu berangkat sama gua. Gua anterin. " Ucapnya sembari mengarahkan sendoknya ke depan wajah Jisung.

"Gak enak gua s--" Ucapan Jisung terpotong seketika.

"Lu kalo mau bilang gak enak itu telat. Udah dua tahunan gua nganterin lu. " Jisung baru ingin membuka mulutnya. Namun, Minho segera menghentikannya. "No protes, no debat. "

"Sung, "

Jisung mengadah menghadap Minho. "Hm? "

"Kayak anak kecil lu makannya. " Celetuk Minho sembari mengambil butiran nasi dipinggir bibir Jisung. "Udah, noh. "

Jisung sontak merona akibat perlakukan Minho terhadap dirinya. Hanya seperti ini saja, Jisung sudah lemah. Apalagi yang seperti itu? Pingsan kali Jisung.

Roomate • MinSungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang